Tikam Samurai - 23

Penderitaan makhluk itu benar-benar berakhir. Tiba-tiba rimba itu seperti dikoyak lagi oleh raungan harimau yang ada di bawah. Seperti raung kemenangan. Bulu tengkuk si Bungsu kembali merinding. Dia ngeri kalau-kalau harimau itu berlompatan naik. Itu bisa menyebabkan nyawanya melayang.
Dia melemparkan mayat jadi-jadian itu ke bawah. Terdengar suara berkerosak. Dan dalam waktu sekejap, semua harimau yang ada di bawah melompat dan lenyap ke palunan rimba. Masing-masing membawa serpihan bangkai makhluk jadi-jadian itu. Si Bungsu menghapus air matanya. Menghapus keringat dingin yang merengas di keningnya. Ternyata ayahnya berkata benar tentang ada ayat-ayat Al Qur’an dan lafas Azan yang sanggup memunahkan ilmu hitam. Dia membuktikannya malam ini.
Kini tubuhnya terasa lemah. Dia tak tahu sudah berapa banyak darah yang keluar dari luka di punggung dan belakang kepalanya. Dengan mengumpulkan segala tenaga, dia berjalan ke sudut kanan batu pipih dimana dia mendirikan pondoknya. Batu pipih itu sebagai halaman pondok darurat tersebut. Di pondoknya dia menyimpan ramuan obat-obatan. Obat yang dibuat dari ramuan daun dan kulit kayu. Dengan ramuan itu dahulu luka menganga bekas bacokan samurai Kapten Saburo Matsuyama dia obat.
Dengan susah payah dia masuk. Menggesekkan dua batu api dengan sisa tenaganya untuk memasang damar yang dibuat dari getah kayu. Dengan sedikit sisa tenaga, sebisanya dia pergunakan untuk menempelkan ramuan obat kering itu ke lukanya. Kemudian dia berbaring. Sakit, lelah dan tertidur. Tiga hari dia diserang demam hebat. Tubuhnya panas dingin. Dia harus berjuang melawan maut. Untunglah daging macan tutul yang dia buat dendeng sangat membantu kesembuhannya. Daging macan itu berkhasiat melawan bisa dan racun. Daging itu juga membuat daya tahan tubuh melebihi manusia biasa. Dia mengunyah dendeng harimau itu sambil terbaring diam.
Hari keempat dia mulai berangsur sembuh. Namun masih belum mampu untuk berdiri. Tapi di pagi keempat dia bisa lagi menikmati kicau burung. Menikmati pekik siamang dan cericit burung punai dan balam, yang barangkali puluhan banyaknya di atas pohon rimbun dekat pondoknya. Burung-burung itu menyanyi di sana. Berlompatan dari cabang ke cabang. Memakan buahnya yang kecil-kecil. Kini dia bisa tersenyum mendengar dendang sahabat-sahabatnya itu.
Ya, selama belasan purnama di gunung ini, sahabatnya adalah hewan-hewan yang ada. Burung, tupai, beruk, siamang, kijang bahkan terkadang harimau dan ular. Sementara di kampungnya dia tak punya sahabat seorangpun. Kehadirannya pertama kali memang mengejutkan dan dimusuhi oleh penghuni-penghuni gunung tersebut. Mereka seperti sangat keberatan atas kehadiran pihak lain di tempat mereka yang selalu aman itu.
Tak jarang harimau dan ular berniat menerkamnya. Namun di bulan-bulan pertama itu, si Bungsu memilih diam saja di dalam pondoknya. Kalaupun dia keluar, itu hanya untuk berlatih di batu pipih di depan pondoknya. Kalau akan minum dia cukup pergi ke sudut selatan batu lebar tersebut. Di bahagian itu ada air mengalir dari batu di atas batu layah itu. Air itu nampaknya mengalir dari puncak gunung. Tak terlalu besar, namun airnya jernih, sejuk dan segar.
Di sudut selatan itu ada kolam kecil yang terbentuk karena tikaman air terjun, mungkin sudah ratusan tahun. Lebar kolam itu tak lebih dari tiga depa persegi, dengan dalam sedepa. Di dalam tebat batu alam itu hidup ikan kecil-kecil. Tak lebih dari sebesar telapak tangan. Ikan-ikan yang alangkah indah warnanya. Ada yang hijau bercampur merah. Seperti bendera. Ada yang hitam dengan biru dan merah. Bergaris-garis seperti ragi kain. Ketika pertama kali dia mandi di dalam tebat itu, ikan itu berlarian ketakutan. Mungkin  menyangka dia sejenis makhluk gergasi  yang akan menelan mereka.
Namun dari hari terbilang purnama, akhirnya ikan-ikan itu jadi sahabatnya. Jika dia mandi, ikan-ikan itu selalu bersamaan berenang dan membenturkan kepala mereka ke perut si Bungsu. Si Bungsu terpekik-pekik kegelian. Ikan-ikan itu mengulangi lagi tingkah mereka. Sebaliknya, lama-lama si Bungsu berhasil dengan mudah menangkap ikan tersebut. Terkadang dia berhasil menangkap empat ekor.  Kecepatan tangannya terlatih berkat biasa dan diulang berkali-kali hari demi hari.
”Ku gulai kalian. Ku makan kalian dengan tulang-tulang kalian,” dia berseru sambil memegang ikan-ikan itu.
Ikan-ikan tersebut menggelepar-gelepar ingin melepaskan diri. Nampak seperti ketakutan. Dengan tertawa si Bungsu melepaskan ikan-ikan itu kembali. Dan mereka kembali berenang dan membenturkan diri ke perut si Bungsu. Terkadang menggigit daging perutnya. Membuat si Bungsu kembali terpekik-pekik. Demikian persahabatan aneh itu terjalin. Begitu juga dengan burung-burung. Tupai dan musang.
Ah, semuanya sangat indah. Seindah bila dia melihat ke kampung-kampung di bawah sana. Kalau siang dia lihat asap mengepul. Mungkin dari ladang, dan mungkin dari dapur di rumah. Dari batu pipih ini, dia dapat melihat dengan jelas kampung-kampung di kaki gunung Sago itu. Dia dapat melihat rumah atau kerlip lampu di malam hari dari Kampung Sikabu-kabu, Situjuh Ladanglaweh, Tungka,  Manangkadok,  Padangmangatas, Tabing, Sungaikumayang. Tanjungharo, Halaban atau si Tujuhbatur.
Dari atas sini semua terlihat indah. Asap yang membawa harumnya jagung dari pembakaran di ladang-ladang. Dia sepertinya mencium bau harumnya jagung panggang. Atau nikmatnya rasa gelamai. Ah, semua rasanya menghimbaunya untuk segera turun. Namun dia harus bertahan beberapa waktu lagi di atas ini. Memang tak ada yang melarangnya untuk turun. Dia bisa pergi setiap saat bila dia mau. Namun yang menahannya adalah hatinya sendiri.



@



Tikam Samurai - 23