Tikam Samurai - 249

Dia bangkit dengan bertumpu di lutut kanan. Dan samurainya terhayun setengah putaran ke atas. Itulah loncat tupai yang tersohor itu. Kelima orang itu masih melongo ketika samurainya bekerja.
Kedua anak buah Zendo yang ada dijangkauan ujung samurainya terpekik. Meraba dada dan rubuh. Si Bungsu tak hanya sampai disana, dia menggebrak lagi. Tapi ketiga lawannya termasuk Zendo sudah melompat mundur empat langkah.
Mereka bertatapan.
Zendo seperti tak yakin akan yang dia liaht. Perlahan dia menyarungkan samurainya kembali. Tindakannya ini diikuti oleh kedua temannya yang masih hidup.
“Benar-benar luar biasa. Cerita orang tentang dirimu ternyata bukan semata bualan, Indonesia-jin. Engkau memang hebat. Baik, kali ini kami mengaku kalah. Dan kami akan pergi. Tapi urusan saya dengan Zato Ichi tak hanya sampai disini. Suatu saat kita akan bertemu lagi. Percayalah…”
“Tunggu….!” Si Bungsu memcoba menahannya. Tapi Zendo sudah membungkuk memberi hormat. Kemudian memberi isyarat pada kedua temannya. Mereka lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Angin masih bersuit kencang. Rambut si Bungsu yang gondrong berkibar diterpa angin. Samurainya masih terhunus. Menghadap ke bawah dengan darah menets diujungnya.
Tujuh mayat bergelimpangan lagi.
Dan tiba-tiba si Bungsu sadar pada keadaan Zato Ichi.
“Ichi-san…’ katanya sambil membantu Zato Ichi bangkit. Pendekar tua itu tak bicara. Dan si Bungsu tak sempat melihat, betapa pipi pahlawan Samurai Tua itu basah oleh air mata.
Lelaki buta itu menangis. Dia dibawa si Bungsu kembali ke rumah papan di belakang kuil tua itu.
Dan semalam itu si Bungsu meramu kembali obat-obatan untuk Zato Ichi. Dia juga memasak bubur dan memanggang kembali dendeng kering untuk makan.
Dua hari dia merawat Zato Ichi dengan tekun. Dan selama dua hari itu pula Zato Ichi tak pernah bicara sepatahpun. Si Bungsu tahu, lelaki itu amat terpukul perasaannya. Tapi dia tak tahu dengan pasti apa benar yang memukul perasaan lelaki tua itu.
Dan hari ketiga dia agak terlambat bangun. Ketika dia bangkit, ternyata Zato Ichi sudah bangun lebih dulu. Tempat tidurnya sudah kosong. Si Bungsu bangkit.
Mengeliat.
Membuka jendela. Kemudian berjalan ke pintu. Dan saat itulah dia merasa keanehan menyelusup. Rumah ini terlalu sepi terasa. Dia coba menperhatikan dengan seksama. Apakah yang ganjil?
Dia tatap ruangan itu dengan cermat. Tak ada sesuatu yang harus dicurigai. Tapi kenapa perasaannya tak sedap?
Sekali dia mengamati kamar itu. Selain ketidakhadiran Zato Ichi, tak ada yang harus dia curigai. Tapi… Zato Ichi!
Kemana dia?
Suatu firasat tak sedap menjalari pembuluh darahnya. Merayap ke sudut jantungnya. Dia segera ke pintu. Namun sudut matanya menangkap sesuatu di meja. Dia berbalik lagi.
Melangkah perlahan ke meja dan di sana ada sepucuk surat. Sebenarnya tak dapat dikatakan surat. Sebab yang terlihat adalah secarik kain putih dengan coretan merah. Dan dia segera mengetahui bahwa tulisan itu ditulis dengan darah manusia.
Bulu tengkunya merinding.
Tulisan itu jelas ditujukan untuknya. Perlahan dia mendekat tanpa meraihnya dia dapat mebaca dengan jelas:
Bungsu-san,
Sebagai orang Jepang saya merasa hina berdiri di sisimu. Sebagai Zato Ichi saya tak pantas berhadapan muka dengan engkau.
Engkau korbankan segalanya dalam membela orang Jepang. Kau lupakan dendammu. Kau lupakan dendam terhadap bangsa yang telah menjahanamkan negeri dan keluargamu.
Engkau pertaruhkan nyawamu untuk membela anak-anak Jepang yang teraniaya.
Engkau bela orang yang engkau ketahui dengan pasti akan membunuhmu. Ah, saya tak ada harga untuk terus bersamamu anak muda.
Engkau membalas kejahatan dengan kebaikan yang ikhlas. Seharusnya saya harakiri. Tapi usia saya yang renta ternyata membuat saya jadi pengecut. Barangkali masih ada gunanya saya hidup. Yaitu untuk mengetahui lebih banyak tentang perobahan zaman.
Hari-hari terakhir saya bersamamu membuat saya sadar, bahwa dunia telah jauh berbeda. Saya pergi tanpa mengucapkan Sayonara padamu. Itu bukan berarti saya tak menyukaimu. Tidak. Soalnya saya, tak kuasa bicara dihadapanmu.
Saya pergi. Biarlah saya dikatakan orang tak membalas budi karena tak membunuhmu. Membunuhmu?
Apakah Zato ichi, perantau samurai Jepang yang kini telah tua renta harus berhadapan dengan seorang pemuda Indonesia bernama si Bungsu?
Ah, dunia akan mentertawakan diriku.



@



Tikam Samurai - 249