Tikam Samurai - 63

“Nama saya Mei-mei ..” katanya sambil tersenyum.
Ketika Mei-mei melihat kusir itu menatapnya, dia segera mendatanginya. Kemudian dengan sikap hormat menyalami orang tua itu.
“Terima kasih atas bantuan Bapak kepada kami ..” katanya.
Kusir tua itu tersenyum.
“Nama saya Datuk Penghulu Basa. Kau boleh panggil saya dengan sebutan bapak atau pak Datuk. Tinggallah di sini buat sementara. Menjelang kokomu sehat. Saya rasa rusuknya ada yang patah. Berbahaya kalau dia berada di kota dalam keadaan seperti itu. Teman teman Datuk yang dia pancung semalam dan juga Kempetai pasti mencari. Siapa nama kokomu itu?”
“Bungsu. Kami baru datang dari Payakumbuh..”
“Ya. Saya ada di depan penginapan itu ketika kalian turun dari bus ..”
Datuk Penghulu Basa lalu menceritakan tentang siapa yang dibunuh oleh si Bungsu di penginapan itu. Tentang kawanan penyamun yang bermarkas di rimba buluh di lembah Tambuo itu.
“Hei, kenalkan, muridku si Salim …..”
Datuk Penghulu memperkenalkan anak muda yang tadi berlatih dengannya kepada Mei-mei. Gadis itu menyambut salam tersebut. Salim merasakan hatinya berdebar ketika menyalami tangan gadis Tionghoa yang cantik itu. Hari hari setelah itu si Bungsu dirawat oleh Datuk Penghulu di rumahnya. Dia terpaksa berbaring selama tiga puluh hari di tempat tidur. Rusuknya patah tidak hanya dua buah. Melainkan ada tiga yang kupak dimakan kaki Datuk penyamun dan anak buahnya itu.
Selama itu pula Mei-mei juga tinggal di sana. Dia sebilik dengan upik. Tiap hari Datuk Penghulu Basa tetap mencari nafkah dengan bendinya. Dia menceritakan pada Mei-mei dan si Bungsu. Jepang sebenarnya berterima kasih pada orang yang tak dikenal yang telah membunuh kawanan penyamun itu. Namun selain berterima kasih Jepang juga tetap mencari si Bungsu. Sebab betapapun jua, si pembunuh harus didengar keterangannya tentang peristiwa itu. Datuk kepala penyamun yang buntung tangan dan kakinya itu dirawat di rumah sakit. Dia masih tetap hidup. Kempetai berhasil mengorek keterangan dari mulut kepala penyamun ini tentang markas mereka di Tambuo. Jepang lalu menggerebek markas mereka dalam rimba bambu itu. Tujuh orang lagi berhasil diringkus dari sana.
Kini, orang tak merasa khawatir lagi lewat di penurunan Tambuo seperti masa masa sebelumnya. Kalau dulu, untuk ke Bukittinggi dari Tigobaleh dan sekitarnya, orang harus memutar jalan ke Simpang Limau. Atau berputar ke Banu Hampu terus ke Jambu Air. Mereka tak pernah aman lewat di penurunan Tambuo itu. Tak jarang orang menemui mayat di Batang Tambuo yang berair deras itu. Tapi kini masa seperti itu sudah lewat. Suatu hari ketika si Bungsu merasa agak baik, dia coba untuk berdiri. Sudah berlalu masa dua puluh hari sejak dia dibawa ke rumah ini.
Tiga tulang rusuknya yang patah sudah agak terasa nyaman, itu karena rawatan datuk itu anak beranak. Mei-mei dengan tambahan ramuan kering yang dia bawa dari gunung Sago. Pagi itu dia terbangun karena kicau burung dan suara bentakan bentakan di luar rumah. Dia buka jendela dan menghirup udara pagi segar yang menerobos masuk. Dilihatnya kopi sudah terletak di atas meja kecil di dalam kamar itu. Dalam sebuah gelas terletak beberapa bunga bunga kobra bunga mawar.
Pastilah Mei-mei yang meletakkannya. Seperti kebiasaan gadis itu setiap pagi selama di rumah ini. Datuk Penghulu pasti belum kembali. Sebab malam tadi dia berkata, bahwa malam ini mereka ada perlu. Kabarnya ada pertemuan pejuang di Bukit Ambacang. Datuk itu termasuk salah seorang dari pejuang itu. Ketika dia menoleh ke arah belakang, dia tertegun. Di lapangan kecil di belakang rumah itu, dilihatnya orang sedang bersilat. Yang satu pastilah si Salim. Kemenakan Datuk Penghulu. Dia kenal pemuda itu selama berada d i rumah ini. Pemuda baik dan rendah hati dan berbudi.
Yang dia hampir hampir tak percaya atas penglihatannya adalah lawan si Salim bersilat itu. Lawannya adalah seorang perempuan. Seorang gadis. Berpakaian serba hitam dan rambutnya yang panjang diikat tinggi tinggi. Pakaian yang hitam sangat kontras dengan kulitnya kuning bersih. Jurus silat yang dia bawakan amat berlawanan dengan tubuhnya yang lemah lembut, dan wajahnya yang cantik. Mei-mei. Mei-mei belajar silat Ini benar benar suatu yang luar biasa.
Di tepi lapangan, si Upik anak Datuk Penghulu Basa melihat dengan penuh perhatian. Sesekali gadis kecil itu bersorak bila tendangan atau pukulan Mei-mei mengenai tubuh Salim. Atau sesekali gadis itu berseru berang bila kebetulan pemuda itu mengenai tubuh Mei-mei. Si Bungsu benar benar terpesona. Dia tak mengerti silat. Tapi melihat gerakan Mei-mei, dia yakin gadis itu sudah mulai cepat dengan kaki dan tangannya. Padahal baru dua puluh hari dia belajar.
Saat itu, ketika Salim berniat menangkap pukulan tangan Mei-mei, gadis itu membiarkannya. Ketika Salim berniat menguasai tangan tersebut, di luar dugaan, kaki kiri Mei-mei yang berada di belakang kaki kanannya, menendang kedepan dengan kuat dan cepat sekali. Tendangan itu demikian telaknya. Salim baru menyadari bahaya tendangan itu ketika sudah terlambat.



@



Tikam Samurai - 63