Dan ketika ketiga Kempetai yang menyiksa Kari Basa itu muncul lagi dengan menyeringai si Letnan berkata.
“HHmmmmm ….. .ingin lari ya. He. .hee. .ingin lari he.. he . .” Seringainya amat buruk. Tapi yang lebih buruk lagi adalah perlakuan setelah itu. Si Bungsu, seperti halnya Kari Basa, dipaksa untuk mengatakan siapa-siapa saja yang diketahuinya mengorganisir perlawanan terhadap Jepang.
Siapa saja teman Datuk Penghulu. Siapa saja yang telah dihubungi mereka dalam Gyugun. Apakah Engku Syafei di Kayu Tanam, Encik Rahman El Yunussiyah di Padang Panjang termasuk ke dalam orang-orang yang menyusun kekuatan ini.
Kemudian kepadanya dibacakan pula sederet nama Gyugun seperti yang dibacakan pada Kari Basa. Berlain dengan Kari Basa yang selalu menggeleng, maka si Bungsu hanya menatap dengan pandangan dingin pada ketiga Kempetai itu. Tak pernah menggeleng sekalipun. Tak pernah mengangguk sedikitpun.
Dan ketiga Kempetai itu mengerjakannya dengan sempurna pula. Ketiga mereka nampaknya dilatih untuk menjadi orang-orang yang tak mepunyai kemanusiaan. Dalam ketentaraan nampaknya memang dididik orang-orang seperti mereka. Gunanya untuk bahagian interogasi.
Dan ketiganya spesialis penyiksaan ini sambil tertawa gembira, sambil menyeringai buruk, mempermak tubuh si Bungsu. Tahap pertama, si Kopral mempergunakan tubuh si Bungsu yang terikat itu sebagai sebuah karung latihan. Yaitu karung yang diikatkan dan diisi dengan pasir. Bagi siswa-siswa beladiri, karung seperti ini dinamakan sansak dakam dunia tinju atau makiwara dalam dunia karate, dipergunakan untuk melatih tendangan dan pukulan.
Nah, itulah kini fungsi tubuh si Bungsu. Kopral itu beberapa kali melambung yang diakhiri dengan mendaratnya tendangannya di perut dan didada si Bungsu. Letnan itu mepergunakan buku tangannya untuk menghajar wajah anak muda tersebut. Si Bungsu berusaha untuk tak memekik. Kendati terpaksa mengeluh beberapa kali saking amat sakitnya. Kemudian muntah. Isi perutnya keluar bersama darah kental. Tubuhnya kemudian diguyur dengan air. Ketika sadar, dia lihat Letnan itu sudah memegang samurai.
“He .. he kau kabarnya mahir dengan samurai. Kini kau lihat pula permainan samuraiku”.
Sehabis ucapannya, samurai itu berkelebat cepat. Si Bungsu menggigit bibir agar tak memekik kesakitan. Pakaiannya segera saja cabik-cabik disambar ujung samurai si letnan. Dan bersamaan dengan itu, dadanya. Wajahnya, perutnya robek-robek. Darah mengalir dengan deras dari bekas lukanya.
“Siram..!” perintah si Letnan.
Kopral yang sama-sama sadisnya dengan si letnan itu mengambil air bekas pengacau semen. Kemudian menyiramkannya pada tubuh si Bungsu yang penuh luka itu. Ya, Tuhan, benar-benar Tuhan saja yang mengetahui betapa menderitanya anak muda tersebut.
Bayangkan, tubuh yang penuh luka di siram dengan air pengacau semen Pedih dan sakit sekali. Sakitnya mencucuk-cucuk ke hulujantung yang paling dalam. Menyelusup ke seluruh pembuluh darah. Ke seluruh sumsum.
Namun siksaan itu berlanjut terus, menyebabkan si Bungsu harus menggigit bibir sampai berdarah. Dia tak ingin menjerit. Tak ingin. Ada dua hal yang dia jaga. Pertama dia tak mau Kari Basa sampai terbangun dari pingsannya mendengar jeritannya. Dia ingin memberi istirahat pada orang tua yang dia hormati itu.
Dan sebab kedua kenapa dia tak mau menjerit adalah karena malu pada Kari Basa. Kalau orang tua itu sendiri tak menyerah, kenapa dia harus menunjukkan kelemahannya dengan menjerit? Meskipun dengan siksa yang dia terima sebenarnya dia ingin menjerit setinggi langit, namun dia paksa untuk menahannya. Padahal setiap orang tahu, jika kesakitan, maka tangis pekik merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi sakit dan derita yang ditanggung.
Rasa sakit dan derita itu berkurang bukan dari segi fisiknya. Melainkan dari segi psikologisnya. Rasa sakit tetap sama. Menjerit atau tak menjerit. Tetapi secara ilmu kejiwaan, menjerit atau menangis bagi seorang penderita merupakan penyaluran. Dan sebuah penyaluran merupakan pengurangan bagi penderitaan. Itu teorinya. Tetapi si Bungsu tak mau memakai teori ini. Baginya lebih baik dan lebih terhormat untuk tetap diam. Meskipun bibirnya berdarah dia gigit dalam usahanya menahan sakit yang tak tertanggungkan itu.
Selesai upacara penyayatan dengan samurai itu, maka letnan tersebut istirahat sejenak. Namun itu bukan berarti istirahat pula bagi penderitaan si Bungsu. Sebab begitu si Letnan duduk. si prajurit tegak. Dengan tang di tangan, dia maju melangkah mendekati si Bungsu.
“Katakan siapa-siapa yang ikut dalam gerakkan kalian Siapa pula diantara Gyugun yang terlibat . .?” Ujar si Letnan dari tempat duduknya.
Si Bungsu tetap diam. Dia tengah membayangkan kesakitan yang akan dia derita. Dia tahu, tang ditangan prajurit sadis itu akan dipakai untuk mencabut kuku-kukunya seperti yang telah dilakukan pada Kari Basa. Karena dia diam, Letnan itu memberi isyarat. Si Prajurit meraih sebuah tong. Meletakkan disisi kiri si Bungsu. Kemudian dia naik ke atas.
@
I. Tikam Samurai