Tikam Samurai - 145

“Jahanam. Belanda hitam yang benar-benar jahanam” Bilal yang kena tampar itu menyjmpah-nyumpah sambil menghapus darah dari hidungnya.
“Nanti suatu saat, dia akan menerima balasan. Akan kuhancurkan kepala mereka dengan bedilku…” Suman yang mulutnya berdarah juga menyumpah.
“Kenapa kalian sampai kena tampar…?” si Bungsu bertanya sambil mengayuh sepedanya.
“Kami tak menyanggupi untuk mencarikan mereka perempuan” Suman menjawab.
“Belanda jahanam. Awaslah kau….!” Sambung Suman. Dan mereka terus mengayuh sepeda melewati jalan berpasir dan berkerikil kecil dari Simpang Tiga itu menuju perhentian Marpuyan. Di perhentian Marpuyan yang merupakan sebuah kampung kecildimana jalan  bersimpang ke Buluh Cina, mereka minum disebuah kedai kecil.
“Masih jauh dari sini Buluh Cina itu?” si Bungsu  bertanya begitu selesai meminum air kelapanya yang terasa sejuk dan nikmat.
“Dari sini delapan belas kilometer. Kita akan sampai di desa Kutik. Dari sana menurun, kalau air  Batang Kampar banjir, dari sana kita bisa naik sampan ke Buluh Cina. Kalau tidak, kita bisa naik sepeda atau jalan kaki….”
“Apakah patroli Belanda tak sampai kemari?”
“Terkadang juga sampai. Meski ini daerah Republik, tapi mereka selalu datang kemari memburu pejuang…”
“Tiap hari mereka lewat?”
“Tidak menentu…” pemilik kedai yang sejak tadi hanya mendengarkan, kini ikut bicara.
“Sudah tiga hari ini mereka selalu datang. Mereka mensinyalir didekat Bancah Litubat disana, disebuah rumah, bersembunyi dua orang pejuang yang telah membakar pos penjagaan mereka di Simpang Tiga dua minggu yang lalu…”
“Ada yang mereka tangkap dari kampung ini?”
“Lelaki tidak”
“Apa maksud bapak dengan ucapan lelaki tidak?”
“Mereka memang tak menangkap seorang lelakipun. Tetapi sebagai gantinya, mereka menangkap seorang gadis dan ibunya. Alasannya sederhana saja. Mereka ingin meminta keterangan. Dan keterangan itu menurut mereka diketahui oleh kedua anak beranak itu. Sebab mereka tinggal dekat rumah yang dicurigai itu..”
“Apa latar belakang yang sebenarnya?” si Bungsu bertanya meskipun dia sudah bisa menduga.
“Latar belakangnya hanya satu. Gadis itu cantik. Itu alasan penangkapannya. Dan ketika dia ditangkap bersama ibunya, tak seorang pun yang bisa membela. Dia tak punya ayh. Sementara kaum lelaki dikampung ini tak berdaya. Daripada ditangkap dan disiksa Nevis lebih baik diam saja…”
“Bila mereka menangkapnya?”
“Sudah dua hari”
“Tak ada yang mengetahui dimana mereka ditahan?”
Pertanyaan si Bungsu belum terjawab, ketika dari kejauhan terdengar bunyi mobil. Semua mereka menoleh. Dari arah Simpang Tiga kelihatan debu mengepul. Dan dari derunya diketahui bahwa kendaraan yang mendekat itu adalah sebuah Jeep.
Mata si Bungsu yang amat tajam mengetahui diatas Jeep itu ada enam manusia. Dua perempuan, empat tentara. Rasa bencinya pada penjajah yang melaknati kaum wanita Indonesia itu tiba-tiba berkobar didadanya.
Sebenarnya seperti yang pernah dikatakan di Bukittinggi dahulu, yaitu ketika meolak penghargaan dari para pejuang itu, dia tak punya sangkut paut dengan perjuangan kemerdekaan.
Kinipun sebenarnya dia tak berniat untuk jadi pejuang. Atau tak pula bertindak sok pejuang. Yang muncul dalam hatinya adalah kebencian pada orang yang menjajah negerinya. Yang menyakiti kaum lelaki, kanak-kanak. Dan menodai kaum wanitanya.
Rasa benci inilah yang membakar dadanya. Bukan niat untuk jadi pahlawan atau pejuang. Dan saat ini, setelah menyaksikan betapa tadi kedua temannya ditampari hingga mulut dan hidung mereka berdarah, kemudian mendengar cerita pemilik kedai ini tentang anak gadis yang tertangkap tanpa sebab itu, kebenciannya jadi menyala.
Dan segara saja sebuah rencana muncul dikepalanya. Dan dia berniat melaksanakan rencana itu, empat orang. Hmmm, jumlah mereka hanya empat orang, pikirnya.
Jeep itu makin mendekat. Dan seperti sudah diatur ketika tiba di dekat kedai dimana mereka minum air kelapa muda itu, jeep tersebut berhenti.
Si Bungsu dan kedua temannya segera mengenali dua diantara tentara KNIL itu adalah yang memeriksa mereka tadi. Dua orang lagi adalah serdadu KL. Belanda Asli. Jeep ini nampaknya memang jeep patroli.
Sebab dibahagian belakangnya, tegak sebuah mitraliyur ukuran 12,7 dengan moncong menghadap ke depan. Kedua serdadu KNIL itu melompat turun. Dengan sikap seperti ada peperangan dia mengacungkan bedilnya kearah pondok. Dengan matanya yang merah kedua mereka menatap isi pondok. Kemudian menyapu keadaan disekitarnya dengan tatapan menyelidik.



@



Tikam Samurai - 145