Dan tiba-tiba, dia merasa menyesal kenapa harus bertemu dengan Nurdin siang tadi. Dan yang lebih disesalkannya, kenapa ketika diperkenalkan tadi dia tak berterus terang saja bahwa dia sudah mengenal Salma?
Dia tak mengerti kenpa tiba-tiba saja dia ingin menyembunyikan pada Nurdin bahwa dia telah mengenal gadis itu. Bukan hanya sekedar kenal, tapi dia malah mencintai gadis itu. Kenapa dia merahasiakannya? Apakah itu karena pertimbangan bahwa dia tak mau membuat hati Nurdin jadi kecewa?
Kini keadaan jadi rumit sekali. Bagaimana dia akan bersikap terhadap Salma dihadapan Nurdin? Akan bersandiwara teruskah? Dan dia juga jadi tak mengerti kenapa keinginan untuk menyembunyikan bahwa mereka telah saling mengenal itu juga dilakukan oleh Salma siang tadi.
Ini adalah situasi yang sangat tidak baik. Benar dia mencintai gadis itu. Tapi dia tak boleh menggganggu rumah tangga mereka. Tidak. Lalu bagaimana? Dia harus pergi dari rumah ini secepat mungkin. Harus! Ya, itulah satu-satunya jalan yang harus dia tempuh.
Dia harus berani menerima kenyataan bahwa situasi telah berobah. Dan kalau selama ini dia selalu kuat menerima kenyataan, selalu tabah dalam tiap cobaan yang bagaimanapun kerasnya datang menerpa, kenapa kini tidak?
Dan akhirnya dia mengambil ketetapan. Dia harus pergi. Hatinya jadi tenteram setelah ketetapan itu dia putuskan. Dia memang mencintai gadis itu. Merindukannya. Kini gadis itu telah dia temukan. Dan dia dapati kenyataan bahwa gadis itu berbahagia. Lagi pula, suaminya adalah seorang lelaki yang dia hormati pula. Sahabat yang dia kenal baik semasa perjuangan fisik dahulu.
Dan ketika keluarga yang dia tompangi itu pulang malam hari, dia bisa menanti mereka dengan senyum menghias bibir. Gadis kecil anak suami isteri itu berlari mendapatkannya.
“Paman sudah makan…?” tanyanya begitu dia dipangku si Bungsu. si Bungsu tak segera dapat menjawab. Sudut matanya melirik, menyambar cepat sekali ke arah Salma yang tegak di jenjang. Perempuan itu menatap padanya.
Ada tikaman halus menyelusup ke lubuk si Bungsu. Pertanyaan gadis kecil ini, pastilah ibunya yang menyuruh. Dan pertanyaan itu, adalah pertanyaan yang selalu diucapkan Salma ketika dia di Bukittinggi dahulu. Pertanyaan masa lalunya yang berbekas.
Anak itu dia cium sambil membawanya naik ke rumah.
“Paman sudah makan….?” Gadis kecil itu kembali bertanya.
“Sudah….sudaah….!” jawab Si Bungsu. gadis kecil itu tersenyum. Dan senyumnya membuat wajahnya kelihatan lucu.
“Engkau harusnya ikut tadi Bungsu. ada beberapa teman dari Jakarta yang ingin mengenalmu. Mereka mengenalmu namamu sejak lama. Dari teman-teman yang pernah berjuang di Minangkabau. Ah, mereka menganggapmu sebagai seorang tokoh dongeng…” Nurdin berkata ketika mereka duduk di ruang tengah.
Si Bungsu hanya tersenyum.
Malam itu mereka lewatkan sambil bercerita tentang masa lalu mereka. Nurdin yang duduk di sebelah Salma menceritakan pula mula awal dia bertemu dengan isterinya itu.
Ternyata setelah Agresi ke II di tahun 49 Nurdin dipindahkan ke Bukittinggi. Dan disinilah dia bertemu dengan Salma. Dua tahun dia tinggal di kota itu. Dan ketika dia akan dipindahkan ke Jakarta, dia melamar Salma. Namun Salma menolak dengan halus. Setahun di Jakarta, Nurdin cuti. Dia kembali ke Bukittinggi dan kembali melamar Salma.
Ayah Salma, Kari Basa tahu betapa anaknya mencintai si Bungsu. namun kemana harus mencari anak muda itu? Dan bagi Salma, sampai bila dia harus menanti? Usianya bertambah juga tahun demi tahun. Teman-teman seusianya sudah pada menikah semua. Bahkan ada yang sudah punya anak empat. Saat itu usianya sudah dua puluh dua tahun. Dan bagi gadis sebayanya, usia demikian sudah bukan main tuanya.
Dan akhirnya, karena desakamn keluarga, ditambah pertimbangan-pertimbangan lain, Salma menerima lamaran Nurdin. Pemuda itu memang seorang yang menarik hati wanita. Seorang yang sopan dan berbudi. Kalau saja belum ada si Bungsu dalam hidupnya selama ini, maka Salma tak usah malu untuk mengakui, bahwa dia sebenarnya juga terpikat pada Nurdin.
Nah, mereka menikah. Memang bukan proses yang mudah. Tapi waktu membuat yang jauh jadi dekat. Waktu juga menjalin kehidupan keluarga mereka jadi bahagia. Nurdin membawa Salma pindah ke Jakarta. Dan setahun setelah pernikahan mereka, Nurdin ditugaskan menjadi atase militer di Konsulat RI di Singapura.
Si Bungsu mendengarkan cerita itu sambil mengangguk sekali-sekali. Namun esok paginya ketika dia bangun tidur, hari telah siang sekali. Dan dia mendapatkan dirinya hanya berdua di rumah itu dengan Salma. Lewat jendela yang dia buka lebar, dia melihat Eka, gadis kecil anak Nurdin berlarian di taman bersama pembantu rumah tangga mereka.
Selesai mandi dia keluar ke ruang tengah. Begitu kakinya tiba di luar kamar, Salma kebetulan juga tengah menuju ke ruang itu. Mereka berpapasan di depan kamar. Sama-sama tertegak. Diam. Memandang. Si Bungsu sudah bertekad untuk berlaku wajar dan menghormati leuarga ini sebagai keluarganya sendiri. Dia harus bersikap wajar seolah-olah tak pernah ada apa-apa antara mereka.
@
Tikam Samurai - III