“Saya bahagia, bisa bertemu lagi dengan engkau Salma…”
“Maafkan saya,….Udaaa..”
Si Bungsu menggeleng.
“Tak ada yang harus dimaafkan Salma. Saya ikut bahagia dengan kebahagianmu. Nurdin sahabat saya. Saya banyak berhutang budi padanya…’
Suara terputus. Langkah-langkah kaki terdengar mendekati kamar. Salma tak berusaha menghapus matanya yang basah. Nurdin muncul dipintu kamar menggendong anaknya. Si Bungsu merasa marah pada dirinya sendiri. Kenapa kejadian ini bisa terjadi, pikirnya. Dan dia pura-pura sibuk meletakkan koper ke atas meja. Membukanya dan memasukkan beberapa potong pakaian kain ke lemari.
“Bersiaplah Bu, kita ke Konsulat sore ini. Bungsu, engkau juga ikut kami. Di Konsulat ada pertemuan keluarga Indonesia, kita kesana ya?”
“Maafkan saya Nurdin. Saya terlalu lelah. Saya ingin sekalai berkenalan dengan orang-orang se bangsa di kota ini. Tapi barangkali lain kesempatan. Saya ingin istirahat…”
Nurdin sebenarnya ingin membawa si Bungsu dan memperkenalkannya pada teman-temannya di Konsulta. Dia agak kecewa memang. Sebab dia benar-benar ingin membanggakan si Bungsu pada teman-temannya.
Dan ketika suami isteri itu berangkat bersama puteri mereka, tinggallah si Bungsu terbaring di kamarnya yang mewah. Ada kipas angin besar berputar di loteng kamar. Membuat udara dalam kamar itu jadi sejuk. Namun tubuh si Bungsu tetap saja mengalirkan keringat dingin.
Siang tadi, ketika akan makan di restoran padang dekat Arab Street, dia sangat merasa bahagia bertemu dengan sahabatnya Nurdin. Betapa tidak, Nurdinlah yang membantunya ketika di Pekanbaru. Nurdin yang saat itu adalah Komandan Gelirya untuk Pekanbaru dan sekitarnya, yang berasal dari kampung Buluh Cina, juga telah menolongnya untuk bisa menuju ke Jepang.
Nurdin menompangkannya ke sebuah kapal yang menuju Singapura ini dahulu. Kapal kecil yang menyelundupkan senjata. Tapi, siapa sangka pertemuan itu menyeretnya ke situasi yang begini sulit.
Tanpa sadar, dia memainkan jarinya di cincin emas bermata berlian di jari manis tangan kirinya. Bertahun-tahun cincin pemberian Salma ini tak pernah tanggal dari jarinya. Dan bertahun-tahun dia menyimpan kerinduan pada gadis itu.
Dia telah berniat untuk segera pulang ke Minangkabau. Ingin bertemu dengan Salma. Dan kalu gadis itu belum menikah, dia ingin melamarnya. Ingin sekali!
Tapi, ya Tuhan. Siapa sangka bahwa nasib akan begini jadinya. Dahulu, ketika dia akan berangkat dari rumah gadis itu, dia memberikan oleh-oleh berupa sebuah cincin, gelang dan liontin. Kemudian sehelai kain bekal baju dan sehelai kain batik.
“Ini bukan sebagai pembalas budimu Salma. Tidak. Budimu takkan bisa kubalas. Ini hanya sebagai kenang-kenangan. Guntinglah kain ini. Buat kebaya panjang dan kebaya pendek. Saya bahagia, kalau kelak engkau menikah, engkau memakai kain dan perhiasan ini…’
Begitulah dia berkata dahulu. Ya, dahulu!
Dan tadi, ketika akan pergi ke Konsulat itu, Salma memakai seluruh yang dia berikan dahulu. Kebaya panjang berwarna biru. Kain batik buatan Jawa. Cincin dan gelang serta liontin pemberiannya dahulu. Mereka berpapasan di ruang tengah. Salma nampaknya seperti sengaja memakai pakaian itu hari ini. Untuk memperlihatkan pada si Bungsu, bahwa dia mengabulkan permintaan si Bungsu dahulu. Dan si Bungsu merasakan tubuhnya menggigil melihat perempuan itu. Kenangan masa lalunya menikam amat dalam hulu jantungnya.
Salma menatap padanya tanpa bicara, tanpa berkedip. Si Bungsu menghela nafas panjang di pembaringan. Berguling ke kanan. Merasa gelisah. Berguling ke kiri. Merasa tak betah. Menelentang. Merasa resah. Duduk. Berdiri dan berjalan ke tepi jendela besar dan tinggi. Memandang ke taman yang luas dengan rumput hijau. Dan pikirannya merangkak lagi ke masa lalunya.
Ketika dia akan berangkat meninggalkan Bukittinggi, Salma mencegatnya di pintu. Menatapnya dengan mata basah. Kemudian berkata lembut:
“Terimakasih atas pemberian Uda kemarin. Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih. Tapi…. Saya berharap uda mau menerima ini….sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknya selalu mendoakan semoga uda selamat dan bahagia selalu…”
Gadis itu menanggalkan cincin emas bermata berlian dari jari manisnya. Kemudian perlahan memegang tangan kiri si Bungsu, memasukkan cincin itu ke jari manis si pemuda. Lalu mereka bertatapan. Mata gadis itu basah. Air mata merembes perlahan ke pipinya. Si Bungsu menghapus air mata itu perlahan dengan jarinya. Sesaat, Salma ingin mendekap pemuda itu erat-erat. Namun yang dia lakukan hanyalah berlari ke biliknya. Menghempaskan diri ke pembaringan dan menagis terisak. Si Bungsu turun ke halaman. Menyalami Kari Basa, ayah Salam. Kemudian meninggalkan Bukittinggi.
Si Bungsu yang hari ini tegak dalam sebuah rumah besar dan mewah di bilangan Bras Basah Road Singapura, melihat bayangan masa lalunya itu berlarian di taman rumah.
@
Tikam Samurai - III