Sementara sambil makan, sesekali sudut mata si Bungsu melirik pada ibunya. Selesai makan, setelah tiga kali bertambuh, dia mencuci tangan. Kemudian berniat untuk turun lewat pintu belakang. Tapi dia terhenti tatkala terdengar suara ibunya yang sejak tadi berdiam diri.
“Tukarlah pakaian dengan yang bersih. Di depan ada tamu yang ingin berunding.”
“Merundingkan pertunangan saya dengan Reno?”
“Ya. .”
“Apa lagi yang harus dirundingkan. Bukankah kami sudah bertunangan?”
”Tapi . .”
“Soal perkawinan?”
Perempuan itu menggeleng. Si Bungsu terhenti di tangga melihat geleng kepala ibunya.
“Mereka ingin mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?” tanyanya dengan datar.
Ibunya tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng. Dia lalu melangkah cepat-cepat ke ruang tengah tanpa menukar pakaiannya yang compang camping itu. Ayahnya dan empat lima perempuan yang hadir jadi kaget melihat kemunculannya. Ayahnya nampak sekali merasa terpukul atas kehadiran anaknya yang tak selesai itu.
Ayahnya, dan semua orang di ruang depan itu, segera tahu bahwa anak ini baru saja kalah dalam perkelahian setelah berjudi. Dia pasti menang pada mulanya. Dan kemenangannya diakhiri dengan perkelahian. Dan dialah yang kalah paling akhir. Sebab kalau dia yang menang, dia pasti pulang dalam keadaan sehat wal afiat.
“Akan mengembalikan tanda pertunangan itukah Etek kemari?”
Dia bertanya pada salah seorang perempuan yang jadi tamu ibunya sambil tetap tegak.
“Bungsu! Beradab sedikit. Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!” Ayahnya membentak.
Dia menatap ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu. Lalu suaranya terdengar berkata dengan pasti.
“Kalau dulu ketika bertunangan saya tidak dibawa berunding, maka kini biarlah saya yang memutuskannya. Pertunangan ini memang lebih baik dibatalkan….”
“Bungsu!” ayahnya membentak. Namun dia tak memperdulikan bentakan ayahnya. Tak kalah kerasnya dari bentakan si ayah, dia berkata:
“Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!”
Sehabis ucapannya dia membuka cincin di jari manisnya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melangkah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu tengah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.
“Anak yang benar-benar tak beradab. Tak bermalu. Tak dimakan ajaran. . .” ayahnya menyumpah panjang pendek dengan muka yang merah padam.
Akan halnya perempuan-perempuan yang datang itu, tak bisa bicara sepatahpun. Kejadian sebentar ini memang luar biasa hebatnya bagi mereka. Mereka memang menghendaki pertunangan diputuskan. Tapi tak terpikirkan oleh mereka akan begini caranya.
Renobulan adalah gadis tercantik di kampung ini. Banyak lelaki jatuh hati dan bersedia berkorban untuknya. Tapi setahun yang lalu dia telah ditunangkan dengan si Bungsu. Orang tahu bahwa pertunangan itu hanya karena ikatan kekeluargaan saja. Keluarga Reno dan keluarga si Bungsu masih berkait-kait famili. Dan kedua keluarga mereka termasuk keluarga yang terpandang di kampung itu.
Terpandang dalam turunan dan harta. Sudah jadi tradisi, mereka mengikat perkawinan sesama mereka. Artinya mereka tetap menjaga kelestarian turunan dan menjaga agar harta pusaka tak jatuh ke tangan “orang luar”. Padahal semua orang berani bertaruh, bahwa Reno yang cantik itu pasti tak menyukai si Bungsu.
Bah, apa yang diharapkan gadis secantik dan selembut Renobulan itu dari seorang lelaki seperti si Bungsu? Wajahnya selalu murung. Matanya sayu seperti tak semangat hidup. Pemalas dan pejudi luar biasa. Penakut Allahurobbi. Soal judi, tak satupun orang-orang di kampung ini, bahkan sampai ke kampung-kampung lain, yang tak tahu bahwa anak muda ini adalah hantunya judi. Semua laki-laki yang pernah jatuh hati pada Reno memaki orang tuanya sebagai orang tua mata duitan. Yang bersedia menjual anak gadisnya demi menjaga harta warisan.
Orang tua laknat, rutuk mereka. Tapi orang tua Reno nampaknya juga punya persyaratan. Mereka berusaha agar si Bungsu itu merubah perangainya. Tapi apa daya, anak ini memang tak pernah berobah. Dia malah menjadi bahan gunjing dan bahan ejekan sesama besarnya. Dan siapa pula yang mampu bertahan bertunangan dengan lelaki seperti itu?
Si Bungsu melangkah turun dengan hati kesal. Pertunangannya memang termasuk pertunangan yang aneh. Sejak bertukar cincin setahun yang lalu, dia baru bertemu dengan tunangannya itu sebanyak tiga kali. Dua kali di pasar Jumat dan sekali ketika sembahyang Hari Raya.
@
I. Tikam Samurai