“Ayo mulailah bersilat, atau kalian perlu diajar dengan samurai sebenarnya?” si Gemuk itu bicara lagi.
Karena tetap saja tak ada yang menjawab, dia lalu memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Jepang itu maju. Memberikan bedil panjangnya yang berbayonet kepada temannya. Lalu dengan hanya samurai di pinggang dia masuk ke tengah sasaran.
“Hei, kalian berdua!. Majulah dan lawan dia . . ”
Jepang gemuk tadi menunjuk pada dua orang pesilat.
“Majulah…. kita memang menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Kini kesempatan itu tiba. Lawanlah dengan segala usaha. Kalau Tuhan menghendaki, esok mati kinipun mati, lebih baik kita mati dalam berjuang, ” bisik Datuk Maruhun pada dua temannya itu.
”Doakan kami Datuk. . . . Kalau kami mati duluan tolong anak bini kami..,” lelaki itu balas berbisik perlahan.
“Jangan khawatir pada yang tinggal. Majulah, kami doakan . . . “
Dengan mengucap Bismillah, kedua lelaki itu maju dengan keris di tangan mereka. Mereka berdua tegak sedepa di hadapan Jepang itu. Jepang gemuk yang merupakan Komandan dalam penyergapan itu memberikan petunjuk pada anak buahnya. Anak buahnya kelihatan tegak dengan diam, sementara tangan kanannya berada di gagang samurai yang masih tersisip dalam sarung di pinggangnya.
Pesilat yang di sebelah kiri mulai membuka langkah ke kanan. Yang di kanan juga melangkah ke kanan. Itu berarti mereka membuat langkah melingkari Jepang itu arah ke kanan pula. Jepang itu masih tetap tegak dengan diam.
Tiba-tiba pesilat yang ada di depan menyerang dengan sebuah tikaman ke lambung Jepang itu. Pesilat yang satu lagi bergulingan di tanah dan begitu tubuhnya berada dekat tubuh Jepang yang tegak itu, dia mengirimkan sebuah tikaman ke selengkangnya. Beberapa saat Jepang itu masih tegak.
Namun tiba-tiba dia bergerak. Gerakannya hanya seperti orang berputar saja. Tangannya tak kelihatan bergerak sedikitpun. Ketika dia berputar tadi tangannya masih di pinggang. Kinipun tangannya itu masih di pinggang. Di gagang samurainya. Namun pesilat yang menyerang duluan menggeliat. Dan tubuhnya rubuh ke tanah tanpa jeritan. Tengkuk dan punggungnya nampak tergores panjang, darah menyembur dari goresan itu.
Pesilat yang berguling di bawah lebih nestapa lagi, tangannya yang tadi menikam ke atas, putus hingga di siku. Lehernya menganga lebar. Keduanya mati saat itu juga. Darah mereka membasahi sasaran. Datuk Maruhun dan keempat temannya jadi terkejut bukan main. Namun mereka telah berketetapan hati untuk berjuang sampai mati. Mereka tetap tegak dengan diam. Komandan Jepang itu bicara lagi dalam bahasa nenek moyangnya. Jepang yang membelakang itu berputar lagi lambat-lambat. Kemudian berjalan keluar sasaran. Sungguh mati, tak seorangpun di antara kelima lelaki yang masih hidup itu sempat melihat Jepang itu tadi mencabut Samurainya. Tak seorangpun! Dapat dibayangkan betapa cepatnya Jepang itu bergerak.
Padahal Datuk Maruhun adalah pesilat tangguh dari aliran silat Lintau. Dia dapat melihat dengan matanya yang setajam burung elang gerakan silat yang bagaimanapun cepatnya. Namun kali ini dia harus mengakui secara jujur, bahwa matanya ternyata masih kurang tajam. Seorang lagi tentara Jepang masuk ke tengah sasaran. Jepang ini bertubuh kurus jangkung. Kelihatannya angkuh. Sesampai di tengah sasaran dia menghunus samurainya. Berbeda dengan serdadu pertama tadi yang tetap membiarkan samurainya dalam sarang dan tersisip di pinggang. Yang ini memegang hulu samurai itu erat-erat dengan kedua tangannya. Komandan Jepang yang bertubuh gemuk itu kembali bicara :
“Tadi kalian saya lihat berlatih mengelakkan serangan samurai. Bahkan coba membalasnya. Itu yang kalian maksud dengan mempergunakan kayu panjang ini sebagai alat latihan bukan? Nah, kini Zenkuro akan mengajar kalian bagaimana mestinya latihan mengelakkan samurai. Kalian yang berdua di ujung itu majulah . .!”
Kedua pesilat yang di tunjuk itu saling berpandangan.
“Kami akan maju Datuk. Mohon maafkan kesalahan kami . .,” mereka berkata perlahan. Nampaknya mereka telah yakin akan mati. Namun mereka menghadapinya dengan tabah.
“Kita akan mati bersama di sini. Hanya kalian terpilih lebih duluan. Majulah, Tuhan bersama kalian . . .,” Datuk Maruhun berkata perlahan.
Kedua lelaki itu maju. Yang satu memegang tombak. Yang satu memegang pedang.Namun sebelum mereka mulai, komandan bertubuh gemuk itu berkata pada salah seorang anak buahnya.
“Hei, mana monyet tadi. Lemparkan kemari agar dia melihat pertarungan ini . .”
Tak sampai beberapa hitungan, ”monyet” yang dimaksud oleh Komandan itu segera didorong ke depan dari balik semak-semak. Dan kelima lelaki itu seperti ditembak petir saking terkejutnya tatkala melihat siapa yang dikatakan ”monyet” itu.
“Bungsu!!” Datuk Maruhun berseru kaget.
“Bungsu!” Lelaki yang maju dengan tombak di tangan itu juga berseru. Dan tiba-tiba kelima mereka dapat menebak kenapa Jepang-Jepang ini sampai mengetahui tempat sasaran yang mereka rahasiakan ini.
”Jahanam kau Bungsu. Kau tidak hanya melumuri kepala ayahmu dengan taik, tapi juga melumuri kampung ini dengan kotoran. Berapa kau dibayar Jepang untuk menunjukkan tempat ini?” Datuk Maruhun membentak
@
I. Tikam Samurai