Tikam Samurai - 210

“Bungsu-saaaan …..!” himbaunya sambil menjulurkan kepala ke jendela.
Dan saat itulah tangan kanan si Bungsu bekerja! Entah bagimana caranya, entah dari mana mulanya, entah siapa yang lebih dahulu. Semua terjadi demikian cepat. Bahkan orang-orang yang menatap dengan diampun tak bisa melihat bagaimana kejadian itu berlangsung satu demi satu.
Yang jelas, si kurus tinggi yang memulai serangan itu, robek rusuk kanannya yang terangkat bersama samurai.
Yang tadi luka di bawah pusarnya, kena hantam lagi tentang lukanya itu. Perutnya terbosai keluar. Yang satu lagi kena pancung lehernya. Jakunnya putus. Dan darah menyembur dari sana.
Dan terakhir, kepala bandit itu, yang bergelar si tangan besi, tersate di ujung samurai si Bungsu. dengan suatu gerak berputar, si Bungsu menikamkan samurainya ke belakang sambil merendahkan diri di atas lutut kananya.
Tikam Samurai! Itulah gerakan Datuk Berbangsa dari Situjuh Ladang Laweh takkala dia mencoba melawan Saburo Matsuyama enam atau tujuh tahun yang lalu.
Mata pimpinan Kumagaigumi itu mendelik. Dia rubuh. Semua orang terdiam. Kereta mulai berlari.
“Bungsu-saaan…!” Michiko memanggil di antara tangisnya. Semua penompang yang ada dalam gerbong itu juga pada mengeluarkan kepalanya. Beberapa orang berdoa atas kematian anak muda itu. Berdoa semoga Budha menerimanya.
Michiko menangis terduduk lemah di kursinya. Kereta telah berlari kencang meninggalkan kota Gamagori itu. Dia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Bungsu-saan…” desahnya di antara isak. Beberapa perempuan juga meneteskan air mata. Terutama ibu yang tadi ditolong anak muda itu.
“Jangan menangis…..” sebuah suara terdengar di sisi Michiko.
Michiko masih menangis.
“Diamlah…Michiko-san…” suara itu terdengar lembut. Michiko terdiam. Mengangkat kepalanya. Dan di sampingnya tegak si Bungsu. dia tertegun tak percaya.
“Saya berjanji akan kembali kemari bukan?” kata si Bungsu tersenyum lembut. Dan tiba-tiba Michiko menghambur ke pelukannya.
“Oh, Bungsu-san…oh, Bungsu-san…saya khawatir engkau dicelakai keempat orang itu….”
“Tidak. Mereka ternyata orang baik-baik. Saya mereka suruh naik ke kereta ini…” kata si Bungsu.
Para penompang menatap mereka dengan bahagia. Ternyata si Bungsu berhasil naik ke kereta yang sedang berjalan itu di saat yang tepat. Meninggalkan empat maya anggota Kumagaigumi itu malang melintang di depan stasiun kota kecil Gamagori.
Si Bungsu membawa Michiko duduk.
Gadis itu menyandarkan terus kepalanya ke bahu si Bungsu. dan tangan si Bungsu memeluk tubuh Michiko.
Kereta api itu berjalan menembus dinding senja menuju Nagoya. Michiko benar-benar merasa aman dan bahagia berada dipelukan anak muda Indonesia itu. Tubuhnya yang lelah akhirnya tertidur dalam pelukan si Bungsu.
Hari telah larut malam ketika dia tersentak bangun. Dia bangun karena lapar.
“Lapar?” tanya si Bungsu.
Michiko tersenyum dan mengangguk.
“Saya sudah beli roti dan kue Pau. Nah, ini diminum dengan sedikit sake. Bisa memanaskan badan”
Michiko lalu makan roti tersebut. Roti dari bar Kereta Api itu masih mengepul asapnya. Panas dan nikmat.
“Engkau akan kemana?” tanya si Bungsu ketika Michiko selesai makan.
“Saya akan ke Kyoto, Bungsu-san akan kemana?”
“Saya juga akan ke sana…”
“Saya gembira kita setujuan…” kata Michiko.
“Di Kyoto dimana Bungsu-san menginap?”
“Saya tak tahu. Saya baru pertama kali ke sana…”
“Kalau begitu menginap di rumah saja. Rumah kami besar dan penghuniya tak berapa orang. Ayah akan gembira sekali kalau Bungsu-san datang ke sana..”
“Terimakasih undanganmu Michiko-san. Saya lihatlah nanti bagaimana baiknya. Saya ke sana juga mencari seorang teman….”
“Dimana dia tinggal? Saya tahu seluruh kota Kyoto. Say tinggal disana selama tiga tahun sebelum melanjutkan sekolah ke Universitas Tokyo tahun lalu….barangkali saya bisa menunjukkan alamatnya…”
“Baik, baik. Nanti sesampai di Kyoto saya akan minta tolong padamu. Nah, tambah lagi minumnya?”
“Tidak, terimakasih”
Kereta meluncur terus. Mereka terlibat dalam pembicaraan tentang Tokyo. Tentang Kyoto.



@



Tikam Samurai - 210