Tikam Samurai - 209

Makanya dia menyerahkan hal sepele itu pada ketiga anak buahnya. Bagaimana dia akan turun tangan? Apakah nama besarnya sebagai si Tangan Besi pimpinan Kumagaigumi kota Gamagori akan dibuat cemar dengan melawan orang asing tak terkenal itu? Ah, itu pekerjaan anak-anak, pikirnya.
Ketiga lelaki anggota Beruang Gunung yang bermarkas besar di Osaka itu memang segera turun tangan. Yang lebih dulu maju adalah yang kururs tinggi tadi.
Dia merasa dapat beking kuat dengan kehadiran kedua temannya ini. Dia segera maju menghantam si Bungsu dengan sebuah tendangan yang tadi pernah melumpuhkan pegawai pamong praja itu.
Namun si Bungsu juga tak mau kasih hati pada orang Jepang pongah ini. Dari balik mantel tebalnya, samurainya dengansangat cepat menjulur keluar. Samurai itu tak dia cabut, hanya gagangnya dia hentakkan ke kening si kerempeng itu.
Terdengar suara berdetak ketika kayu gagang samurai itu menghajar kening si kurus. Demikian cepat dan kuatnya hentakkan itu, membuat si kurus tersurut dua langkah.
Dan keningnya kini tak hanya bengkak seperti tadi. Tapi juga berdarah!
Dan samurai itu kini di pegang dengan tangan kirinya di luar mantel tebalnya oleh si Bungsu.
Dia melangkah. Ketiga Jepang itu mundur dengan kaget.
Si Bungsu menoleh pada Michiko.
“Tenanglah di sana. Saya akan kembali…”
Berkata begini dia melangkah lagi. Ketiga Jepang anggota Beruang Gunung itu mundur terus.
Akhirnya mereka terpepet ke pintu.
Salah seorang tiba-tiba maju sambil mencabut samurai. Tapi Jepang ini sungguh bernasib malang. Dia memang sudah lama belajar samurai. Tapi orang dia hadapi adalah “malaikat” nya samurai.
Samurai baru terangkat sedikit, ketika dia rasakan perutnya pedih bukan main. Ayunan samurainya terhenti. Dia melihat ke bawah. Dan wajahnya jadi pucat. Pucat karena kaget dan malu.
Celananya telah dibabat putus oleh samurai anak muda itu persis di bawah pusatnya!
Celananya terluncur ke bawah. Dan perutnya berdarah. Dan darhanya mengalir hingga ke bawah!
Dia lari turun ke jalan. Si Bungsu maju terus. Dan kini mereka tegak di bawah, di depan stasiun kecil di kota Gamagori itu.
Pimpinan mereka tadi, yang telah turun lebih duluan merasa kaget melihat anak buahnya belum juga berhasil menyudahi orang asing ingusan itu.
Peristiwa itu tentu saja menarik penduduk yang memenuhi stasiun tersebut. Mereka secara otomatis membuat lingkaran yang amat lebar.
Angin bersuit panjang membawa udara musim dingin yang menusuk tulang.
Kini dia telah dikepung oleh empat orang. Penduduk hanya melihat dari kejauahan. Ada seorang Polisi dengan pistol di tangan yang menyeruak di antara kerumunan orang ramai.
“Hentikan semua i….!” bentakkannya terhenti takkala dia melihat siapa yang sedang mengepung seorang asing itu.
“Oh…eh…glep…plzf..” mulutnya berkomat kamit tak menentu. Dan akhirnya dia menyuruk lagi kedalam kerumunan orang ramai itu.
Yang dia bentak sebentar ini adalah kepala bandit kelompok Kumagaigumi. Niat hatinya tadi ingin dianggap pahlawan oleh orang banyak. Karena berhasil mengatasi sebuah kericuhan. Tapi kini nyalinya jadi ciut. Dan dia harus menelan pil pahit takkala penduduk mengejeknya. Dia menyuruk dan menghindar dari sana.
Sudah bukan hal yang aneh lagi, bila di kota kecil seperti Gamagori, Nishio, Yaizu, Ena, atau Azuchi di tepi danau Biwa sana, yang berkuasa bukanlah aparat penegak hukum. Melainkan kelompok-kelompok bandit seperti Jakuza dan Kumagaigumi.
Demikian berkuasanya mereka, sehingga dengan kekuatan uang dan keuatan fisik mengandalkan jumlah anggota yang banyak mereka bisa saja menggeser kedudukan seorang penguasa kota kecil itu.
Tapi yang paling ditakuti pejabat resmi itu bukanlah tergesernya mereka dari kedudukan. Melainkan teror dan pembunuhan yang tak kenal perikemanusiaan. Orang-orang ini bisa saja menyerang keluarga mereka. Baik siang ataupun malam.
Bagaimana kalau suatu saat mereka mendapati anak mereka mati terbenam dalam sumur atau di gilas kereta apai? Nampaknya kecelakaan biasa. Tapi itulah perbuatan kelompok-kelompok bandit ini. Kedua kelompok bandit ini adalah semacam Mafia dari Italia sana. Dan ini membuat para bandit itu memang petentengan serta kurang ajar.
Kini mereka berhadapan.
Si Kurus kembali menyerang pertama kali di depan stasiun itu dengan samurainya. Dia maju dengan menghayun tiga langkah ke depan dan tiba-tiba melangkah kekanan dengan cepat sambil memancung ke arah si Bungsu!
Dan pada saat yang sama, ketiga lelaki lainnya membabat dari tiga penjuru.
Peluit kereta berbunyi. Ini adalah kesempatan bagi si masinis untuk berangkat.
Roda kereta mulai bergerak. Michiko tertegak.



@



Tikam Samurai - 209