Tikam Samurai - 223

Kalah atau menang. Keinginan untuk menang adalah hasrat terakhir dari setiap orang yang bertarung. Namun kekalahan adalah juga merupakan haknya.
Setiap yang menginginkan kemenangan harus sadar bahwa kekalahan juga mengintainya. Dan kini masa, memikul beban seperti itu sudah dia lalui.
Barangkali dia dianggap orang lemah. Bertahun mencari musuh. Dan ketika musuh itu dengan mudah bisa dibunuh, dia melepaskan begitu saja. Apakah itu suatu “kelemahan?” atau itu juga suatu “Kekalahan?”
Kalau itu dianggap suatu kelemahan atau suatu kekalahan, maka dia dengan lapang hati menerima kenyataan itu. Yang jelas, dia merasa lega kini. Lega karena tak membunuh orang lebih banyak.…
Pagi harinya dia jadi heran. Di jalan raya di depan hotelnya, kelihatan arak-arakan para pendeta menuju ke utara. Dari berbagai penjuru jalan, kelihatan barisan pendeta-pendeta Budha dan Shinto berbaris dengan wajah sedih.
“Ada apa?” tanyanya pada seorang pengurus hotel.
“Pendeta Besar kuil Shimogamo meninggal karena harakiri kemaren..” jawab pengurus hotel itu.
Si Bungsu merasa dirinya terlambung. Dia tertegak kaku.
“Bunuh diri?” desisnya perlahan.
“Ya. Pagi kemaren, kabarnya seorang musuhnya datang ke sana untuk menuntut balas. Muridnya, para pendekar kuil Shimogamo yang tersohor pendekarnya itu, berusaha membantunya.
Namun kabarnya delapan orang di antara mereka mati dimakan samurai musuh Obosan itu. Menurut orang yang menyaksikan di kuil itu kemaren pagi, belum pernah ada manusia yang demikian cepatnya mempergunakan samurai di Jepang ini, seperti musuh Obosan itu.
Mungkin orang itu murid atau turunan dinasti Tokugawa. Pendekar Samurai yang tershor itu…..”
Pengurus gotel itu bicara terus.
Namun si Bungsu tak mendengarkannya. Dia teringat pada pekikan Michiko kemaren sesaat dia akan meninggalkan kuil Shimogamo itu.
Apakah saat itu Saburo bunuh diri?
“Kini semua pendeta dari seluruh kuil yang ada di Kyoto ini…” pengurus hotel itu melanjutkan…” menuju ke sana. Untuk memberikan penghormatan pada Obosan itu. Obosan itu sangat disegani di kota ini. Sangat berpengaruh dan dihormati…”
Si Bungsu tak mendengarkannya. Dia justru tengah melangkah mengikuti palunan manusia menuju kuil Shimogamo!
Pikirannya yang malam tadi telah tenang, kini kembali mendapat beban lagi.
Kini beban itu justru makin berat. Dia sampai di altar kuil dimana kemaren dia melihat puluhan pendeta muda sedang berlatih beladiri.
Altar itu kini sudah penuh di kiri kanannya. Ada jalan selebar tiga meter di tengah untuk menuju ke tangga utama di kuil tersebut.
Dan di sana, di puncak anak tangga kuil yang belasan jumlahnya itu, terletak peti jenazah Obosan kuil Shimogamo. Diselimuti dengan kain beludru merah.
Jenjang kuil itu dialas seluruhnya dengan beludru kuning. Dan di samping peti yang diletakkan agak tinggi itu, kelihatan seorang gadis berbaju serba putih duduk berlutut. Tangannya menelungkup bersama wajahnya ke peti jenazah.
“Michiko….” Kata si Bungsu perlahan. Di sekitar peti jenazah kelihatan puluhan lilin tengah dipasang. Dan berjejer di setiap anak tangga, kelihatan puluhan pendeta kuil Shimogamo berjubah merah dan kuning berguman membaca doa.
Jarak antara si Bungsu dengan peti jenazah di mana Michiko menelungkup itu masih jauh. Si Bungsu berusaha mendekat lewat di antara jubelan manusia yang ribuan orang banyaknya itu.
Yang hadir dalam upacara tersebut ternyata tidak hanya pendeta dari kuil-kuil di kota Kyoto saja. Berita itu ternyata telah pecah dan menyelusup ke seluruh pelosok kota.
Orang berdatangan ingin memberi penghormatan akhir pada Obosan itu. Selain itu, tentara Amerika juga berdatangan. Ada yang datang karena bersifat politis, ada yang datang karena ingin melihat upacara sakral itu dilangsungkan.
Gong tiba-tiba dipalu. Berdengung dan bersipongang. Menggetarkan hati setiap orang yang berada di sekitar kuil itu. Si Bungsu baru menyadari bahwa musuh bebuyutannya itu ternyata memang bukan orang sembarangan. Ternyata dia orang terhormat dan berpengaruh. Upacara dihari kematiannya ini membuktikan hal itu.
Begitu gong ketiga berakhir, utusan-utusan dari selusin kuil yang ada di kota Kyoto itu maju dalam barisan yang teratur. Dua orang tiap kuil. Mereka maju membawa semacam baki mendaki tangga upacara.
Michiko berdiri menerima penghormatan itu. Si Bungsu melihat betapa mata gadis itu bengkak bekas menangis. Wajahnya yang cantik kelihatan pucat sekali.
Dan saat itulah Michiko melihat si Bungsu tegak di baris kedua dari jalan di tangga paling bawah. Mata mereka saling tatap.
Wajah Michiko tiba-tiba jadi keras. Dan tiba-tiba pula lilin ditangannya jatuh. Dia menatap lurus pada si Bungsu.
Semua orang jadi kaget. Termasuk para pendeta, para biksu dari seluruh kuil yang hadir di sana.



@



Tikam Samurai - 223