“Saya tak tahu….”
“Tak tahu? Alangkah ganjilnya. Engkau telah menurutnya sekian jauh. Mencarinya kemana-mana, tanpa engkau ketahui apakah engkau mencintainya atau tidak. Jika bukan karena cinta untuk apa engkau mencarinya sejauh ini, Michiko?”
“Dia berhutang padaku….” Suara Michiko perlahan. Kepalanya menunduk. Salma mengerutkan kening.
“Hutang?”
“Ya. Dia berhutang padaku…!”
“Alangkah ganjilnya terasa. Engkau mencarinya hanya untuk meminta piutang saja. Berapa kah piutang yang dia buat sehingga engkau menghabiskan waktu dan biaya sebsar ini..”
“Terlalu besar untuk disebutkan…”
“Maaf. Saya masih tak bisa mengerti, hutang yang telah dia perbuat padamu…”
“Hutang nyawa…” suara Michiko masih perlahan dan kepalanya masih menunduk.
Salma yang jadi kaget. Terkejut bukan main. Demikian kagetnya dia, hingga buat sesaat dia tak bisa buka suara.
“Ya, untuk itulah dia saya cari, Salma. Dia telah membunuh saya saya. Meski secara tak langsung. Tapi dialah penyebabnya. Dan saya akan menuntut kematian itu padanya…”
Buat sesaat Salma masih belum bisa bicara. Lama kemudian, ketika Michiko masih menunduk, Salma kembali bertanya.
“Hutang nyawa secara tak langsung. Apa yang anda maksud Michiko?”
Michiko menatap pada Salma. Sudut matanya basah.
“Apakah dahulu Bungsu-san tak pernah bercerita pada anda untuk apa dia datang ke Jepang?”
Salma mengalihkan pandangan ke luar. Ke pohon-pohon Akasia yang berjajar disepanjang tepi jalan. Dan ingatannya surut kembali kemasa lalunya. Kewaktu dia masih merawat si Bungsu di Panorama Bukittinggi. Dan suatu hari, ketika lukanya telah sembuh, si Bungsu pernah mengatakan padanya,m bahwa dia akan ke Jepang.
“Saya akan mencari opsir yang telah membunuh ayah dan ibu saya. Yang telah menodai dan sekaligus juga membunuh kakak saya. Perjalanan saya mungkin akan jauh dan lama sekali, Salma..”
Bayangan itu melintas. Kemudian dia menatap pada Michiko.
“Ya. Saya ingat, Michiko. Dia kenegrimu untuk mencari seorang opsir yang membunuh keluarganya…”
Michiko menarik nafas panjang. Kemudian menunduk lagi. Lalu suaranya trdengar perlahan.
“Ya, itulah persoalannya Salma. Ah, saya sudah terlalu lama mengganggu anda. Saya harus pergi…’
Salma tertegun, dia ingin mendengar banyak tentang si Bungsu dari gadis cantik ini.
“Kenapa buru-buru…?”
“Saya, saya harus kembali ke penginapan…”
“Anda sendirian…”
Michiko mengangguk.
“Si Bungsu berjanji pada kami, bahwa dia akan menyurati kami bila dia telah kembali dari Australia. Barangkali engkau bisa menanti. Bila suratnya datang nanti, engkau akan mengetahui dengan jelas dimana dia berada. Apakah dia telah kembali ke kampungnya atau belum…”
Michiko menatap Salma. Ada benarnya juga pendapat nyonya ini, pikirnya.
“Ya, saya rasa juga demikian yang baik. Tak mungkin saya menurutnya ke Australia. Terlalu jauh…”
“Kalau anda tak keberatan, saya ingin menemani anda selama di kota ini…” Salma menawarkan jasa baiknya. Wajah Michiko berseri.
“Benar?”
“Ya. Kenapa tidak…’
“Ah, saya amat berterimakasih sekali jika anda mau menemani saya…’
“Saya juga akan merasa gembira dapat menemani anda Michiko…”
“Terimakasih, saya memang merasa asing dan sepi di kota ini..’
--o0o--
Dan esok sorenya, Salma memang datang ke hotel dimana Michiko menginap. Tak lama kemudian, kedua wanita itu sudah berada dalam taksi.
“Anda pernah makan sate?” Salma bertanya ketika mereka telah duduk dalam taksi.
“Sate?”
“Ya, makanan spesifik Indonesia. Tapi di kampung kami makanan itu lebih terkenal lagi karena pedas dan enak. Anda suka makanan pedas?”
Michiko mengangguk dan tersenyum.
“Negeri kami setiap tahun ada musim dingin dan setiap musim dingin, jika lelaki suka minuman keras, maka kami kaum perempuan membuat makanan yang pedas-pedas…”
“Kalau begitu anda pasti suka makan sate. Disini ada orang jual Sate Pariaman….”
“Sate Pariaman?”
“Ya. Pariaman nama sebuah negeri dan sekaligus nama sebuah kota kecil dinegeri kami. Orang-orang dinegeri itu pembuat sate yang gurih rasanya…”
@
Tikam Samurai - III