Malam itu gerimis turun membasahi bumi. Empat orang serdadu jepang kelihatan berkumpul di sebuah kedai kopi di kampung Tabing. Kampung itu masih terletak dikaki gunung Sago. Sebuah desa kecil yang tak begitu ramai. Namun karena letak kampung itu di dalam kacamata militer cukup strategis, maka jepang menjadikan kampung itu sebagai salah satu markasnya.
Ada beberapa markas jepang yang termasuk besar di sekitar kaki Gunung sago di Luhak 50 kota ini. Yaitu Padang Mang atas, Tabing, Pekan Selasa dan Kubu Gadang . jepang menganggap daerah Luhak 50 Kota ini sebagai daerah strategis. Karena dari sini dekat mengirimkan pasukan atausuplay ke Batu Sangkar atau ke Logas dan Pekanbaru. Di daerah mana jepang mempunyai tambang-tambang emas dan berbagai kepentingan militer lainnya.
Kedai kopi itu sebenarnya sudah akan tutup, Pemiliknya seorang lelaki tua sudah akan tidur. Namun keempat serdadu jepang itu tetap menggedor pintu kedainya.
”Jangan bobok dulu Pak tua. Kami ingin makan paniaram dengan sake. Ayo keluarkan paniaramnya..” salah seorang bicara. Dari mulut mereka tercium bau sake. Semacam minuman keras khas jepang.
”Paniaram sudah habis tuan…”
”Ah jangan ngicuh laa. Tak baik ngicuh. Tadi siang masih banyak. Ayooo.”
Dan orang tua itu mereka dorong sampai terdede-dede masuk ke kedainya. Mereka langsung saja duduk di kursi panjang dan mengambil empat buah gelas. Dari kantong mereka mengeluarkan beberapa buah botol porselin. Menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Hanya sedikit, lalu meminumnya. Mereka lalu berbisik. Salah seorang lalu berseru : ”Hei, pak tua. Mana paniaramnya.”
Lelaki itu terpaksa mengambil kaleng empat segi yang berisi paniaram. Kemudian meletakkannya ke depan tentara jepang tersebut.
”Mana Siti pak tua. Suruh dia membuatkan kami kopi”
Hati gaek itu jadi tak sedap. siti adalah anak gadisnya. Biasanya dia berada di Padang Panjang. Sekolah Diniyah Putri di sana. Tapi sejak jepang masuk. dia merasa anak gadisnya tak aman di sana. Lagipula, banyak orang tua yang menyuruh pulang anak-anaknya yang sekolah jauh. Pak tua ini juga menjemput Siti. Dan selama di kampung dia lebih banyak di rumah.
”Tak ada lagi air panas untuk membuat kopi tuan…” dia masih coba mengelak.
Tapi terus terang saja hatinya sangat kecut. Keganasan jepang terhadap perempuan bukan rahasia lagi. Meskipun belum lewat dua tahun mereka di Minangkabau ini. Beberapa hari yang lalu, dua orang penduduk yang dituduh mencuri senjata di Kubu Gadang, dipenggal ditepi batang Agam. Dan segera saja tentara jepang itu memaki. Belasan perempuan, tak peduli gadis atau bini orang, telah jadi korban perkosaan.
“Jangan banyak cincong pak tua. Suruh anakmu turun membuatkan kopi untuk kami….” bentak salah seorang tentara itu.
Lelaki tua itu tak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya turun dan membuatkan kopi. Siti memakai pakaian yang buruk. Mengusutkan rambutnya kemudian turun membuatkan kopi. Namun meski dia berusaha memburuk-burukkan badannya dan pakaian yang dia pakai longgar, tetap tak dapat menyembunyikan kecantikan dan kepadatan tubuhnya. Tak dapat menghilangkan bahwa pinggulnya padat berisi. Dadanya sedang ranum. Semua itu masih jelas terbayang. Bahkan makin merangsang dalam cahaya pelita yang eram temaram dalam kedai kecil itu.
Ketika dia lewat hendak ke dapur di dekat ke empat serdadu itu, dengan kurang ajar sekali yang seorang meremas pinggulnya. Yang seorang dengan cepat mencubit dadanya, gadis ini terpekik dan menangis. Dia segera akan lari ke atas rumahnya kembali. Namun dia terpekik lagi ketika larinya dihadang oleh sebuah samurai. Samurai itu berkelebat. Dan ujung kain batik yang dia pakai sebagai selendang putus Dapat dibayangkan betapa tajamnya senjata itu.
”Kau Siti, dan kau juga pak tua, jangan banyak tingkah. Kami ingin minum kopi, makan Paniaram sediakan cepat kalau tidak ingin dimakan mata samurai ini…”
Siti menggigil. Ayahnya mengangguk tanda menyuruh. Sambil menangis terisak-isak, gadis berumur tujuh belas tahun itu menghidupkan api untuk membuat kopi.
”Assalamualaikum…….” tiba-tiba terdengar suara perlahan dari luar.
Tak ada yang menyahut kecuali tolehan kepala. Lelaki tua itu, anak gadisnya, dan keempat serdadu jepang itu menoleh ke pintu. Di ambang pintu muncul seorang lelaki muda dengan wajah murung. Matanya yang kuyu menatap isi kedai. Dia memandang pada siti. Sebentar saja. Tapi dia melihat pipi gadis itu basah. Dia memandang pada pemilik kedai. Kemudian pada keempat serdadu itu. Dia mengangguk memberi hormat. Anggukan pelan saja. Meski tak di balas, dia melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu.
Ke empat serdadu jepang itu kembali meminum sake mereka. Nampaknya minta kopi hanya sekedar untuk menyuruh anak gadis itu untuk turun ke kedai ini saja. Untuk minum mereka mempunyai sake. Anak muda yang baru masuk itu duduk di sudut kedai. Membelakangi pada keempat serdadu itu.
Apakah saya bisa minta kopi secangkir upik? dia bertanya perlahan pada Siti yang duduk dekat tungku menuggu air, sedepa di sampingnya. Gadis itu menoleh padanya. Anak muda itu menunduk. Seperti sedang melihat daun meja. Gadis itu tak menyahut. Meski dia yakin anak muda itu tak melihat anggukannya, dia mengangguk juga sebagai tanda akan menyediakan kopi yang diminta. Meski menunduk, anak muda itu dapat melihat anggukan gadis itu.
@
I. Tikam Samurai