Tubuhnya tiba-tiba berguling ke kanan. Samurai si gemuk memburu ke sana. Kosong Tiba-tiba dia melambung tegak dua depa di depan Kempetai itu. Kini mereka berhadapan. Tak seorangpun di antara penduduk yang percaya atas apa yang baru saja mereka saksikan.
Mulai dari saat kematian kedua Kempetai itu, sampai pada peristiwa sebentar ini. Benarkah yang berada di hadapan mereka dan yang berhadapan dengan Kempetai itu adalah si Bungsu anak Datuk Berbangsa? Si penjudi yang terkenal penakutnya itu?. Mereka tak sempat berpikir. Kedua lelaki itu berhadapan lagi. Kempetai gemuk itu menggeser telapak kakinya di tanah, inci demi inci. Tiba-tiba samurainya bekerja.
Tapi saat itu si bungsu mencabut samurainya. Tak seorangpun yang melihat bergeraknya samurai kedua orang itu. Kedua-duanya alangkah cepatnya. Namun, kini si bungsu kelihatan berlutut di lutut kirinya. Samurainya menghujam ke belakang. Dan di ujung samurainya Kempetai gemuk itu tertusuk persis di dada kiri Kempetai itu tertegak diam. Matanya mendelik. Samurainya terangkat tinggi.
Dia menggertakkan geraham. Menghimpun tenaga. Kemudia menghayunkan samurai di tangannya ke tengkorak si bungsu yang berlutut disebelah kaki membelakanginya. Saleha terpekik. Begitu pula beberapa perempuan yang tegak dengan kaku di sekitar halaman masjid itu. Namun hayunan samurai si gemuk hanya sampai separoh. Kempetai itu rubuh ke tanah. Si bungsu menyentakan samurainya dan dengan amat cepat memasukkan kembali ke sarungnya.
Gerakan cepat Bungsu mencabut samurainya diawal pertarungan tadi membuat konsentrasi si gemuk terganggu. itulah salah satu sebab kenapa serangannya tak terarah. Tak pernah dia sangka sedikitpun, bahkan hampir tak masuk di akal, ada penduduk pribumi yang masih sangat muda memilki kecepatan luar biasa mempergunakan samurai. Lebih cepat dari seorang Kempetai Apakah ini bisa terjadi? Ketika kedua anak buahnya meninggal tadi, sebenarnya dia sudah merasa heran.
Kuda-kuda dan langkah kaki anak muda ini tak menurut aturan dan teori seorang samurai. Nampaknya asal melangkah saja. Bahkan beberapa gerakannya terlihat canggung dan lucu. Tapi kenapa dia bisa secepat itu? Kempetai gemuk itu tak sempat mengambil kesimpulan atas pertanyaan di kepalanya. Dia keburu mati.
Kalau Kempetai itu sudah menganggap bahwa si bungsu terlalu cepat dengan samurainya, maka penduduk kampung itu benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Mereka melihat si Bungsu hanya sekali memegang samurai terhunus. Yaitu ketika dia menikamkan samurai itu pada si gemuk di belakangnya. Kemudian samurai itu disentakkan, dan lenyap ke dalam sarungnya. Kini anak muda itu seperti hanya memegang sebuah tongkat kayu yang panjangnya kurang sedepa.
Si Bungsu tegak di antara mayat-mayat Kempetai itu. Menatap pada Saleha, kemudian pada Sawal dan Malano. Sementara mereka membalas tatapannya dalam diam. Mereka benar-benar takjub. Kejadian ini terlalu luar biasa bagi mereka. Anak muda itu masih tegak dengan muka murung. Lalu si Bungsu menoleh pada Imam yang masih tersandar di pintu masjid.
”Saya rasa Kempetai ini hanya datang bertiga. Mudah-mudahan yang lain tak tahu. Kuburkan mereka jauh-jauh. Lenyapkan segala tanda kedatangan mereka kemari. Jangan sampai yang lain tahu. Kalau mereka tahu mereka mati di sini, yang lain akan mereka bunuh. Terima kasih atas bantuan pak Imam pada saya….” lalu dia menoleh pada Sawal.
”Tinggaikan kampung ini buat sementara. Agar jepang-jepang itu tak curiga.” Kemudian dia menghadap lagi pada Malano yang tadi melayanyaunya dengan tangan.
”Terima kasih Malano, engkau seorang pejuang. Ayah pasti bangga mempunyai murid seperti engkau. Siang tadi kalian memberiku waktu sampai sore untuk berada di kampung ini. Sudah tiba saatnya bagi saya untuk pergi…”
Lalu dia memandang pada Saleha. Gadis itu juga menatap padanya.
”Terima kasih Saleha. Atas air hangat dan kain lap yang engkau berikan tadi….”
Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Dan anak muda itu berjalan menuju hilir kampung. Suaranya tadi terdengar tenang. Tak ada nada dendam. Tak ada nada sakit hati. Dia tetap seperti dahulu. Wajahnya tetap murung dengan tatapan mata yang kuyu. Ya, tak ada yang berobah pada dirinya. Dia tetap seperti dulu. Bedanya kini hanyalah Samurai di tangan dan bara dendam di hatinya.
Si bungsu makin lama makin jauh. Semua orang ingin memanggil dan berkata agar dia jangan pergi. Semua orang ingin minta maaf atas apa yang telah mereka perlakukan terhadap anak muda itu. Saleha, Malano, Sawal. Semuanya. Namun tak seorangpun yang mampu membuka mulut. Tak ada suara yang mampu diucapkan. Tak tahu bagaimana cara memulai kalimat. Imam ayah Saleha itulah yang bicara. Dia bicara perlahan, di antara air matanya yang mengalir turun- Dia bicara daripintu masjid, sambil bersandar ke pintu dan memegangi luka di dadanya.
”Setahun yang lalu, ketika semua kita melarikan diri dari kampung ini, dialah yang menguburkan jenazah anak kemenakan kalian. Dialah yang menguburkan suami dan isteri kalian. Dia tak ingin mayat-mayat itu dimakan binatang buas. Dia kuburkan mereka dalam keadaan dirinya sendiri luka parah. Bukankah engkau Datuk Labih yang melihat bahwa dia kena bacokan samurai sebelum engkau sendiri melarikan diri? Meninggaikan kakak perempuanmu diperkosa dan dibunuh tentara jepang? Kemudian engkau pula yang mengatakan pada orang kampung bahwa tak mungkin dia menguburkannya. Bahwa bangkainya pasti telah dimakan anjing atau diseret binatang buas ke rimba?. Bahwa kalian semua mempercayai, bahkan memang berharap. anak itu mendapat celaka seperti itu? Bukankah begitu?”
Tak ada yang menjawab. Beberapa orang kelihatan menghapuskan air mata. Imam itu juga menghapus air mata di pipinya yang tua. Tiba-tiba dia menjadi muak melihat orang kampungnya ini. Dia juga muak pada dirinya. Kenapa tak sejak dahulu dia mempunyai keberanian untuk berkata begini? Seekor burung Gagak terbang tinggi. Suaranya menyayat pilu.
Gaaak….gaaak…gaaak. Di ujung sana, tubuh si Bungsu lenyap di balik tikungan. Pergi bersama tenggelamnya matahari senja. Hilang si Noru tampak pagai Hilang dilamun-lamun ombak. Hilang si bungsu karano sansai Hilang di mato urang banyak.
@
I. Tikam Samurai