”Hei pak tua, bukankah Sumite yang bertubuh gemuk itu minum di sini lima hari yang lalu?”
Tentara jepang itu bertanya pada lelaki pemilik kedai. Lelaki itu tak segera menjawab.
”Sumite. Kempetai yang bertubuh gemuk itu. Bukankah dia minum bersama dua orang anak buahnya di sini lima hari yang lalu?”
Pemilik kedai itu segera tahu siapa yang ditanyakan jepang itu. Kempetai bertubuh gemuk itu memang minum d is ini lima hari yang lalu. Kemudian dia pergi. Tapi sejak hari itu, Kempetai itu lenyap tak berbekas. Dia harus hati-hati menjawab .Jangan sampai dia berurusan pula ke Kempetai nanti. Kempetai telah datang kemari dua kali. Dia menjawab seadanya.
”Ya tuan. Dia minum di sini bersama dua orang temannya.”
”Tak ada dia mengatakan kemana dia akan pergi?”
”Tak ada tuan”
”Nah, dia lenyap tak berbekas. Dia diperintahkan untuk menangkap dua orang lelaki yang
mencuri senjata di kampung di kaki gunung sana. Tapi tak pernah kembali. Kampung itu sudah diperiksa. orang yang ditangkap itu juga tak pernah pulang ke kampungnya.”
”Barangkali dia melarikan diri ke Agam. Dan Sumite memburunya ke sana…” jepang yang satu lagi memotong pembicaraan.
”Tak tahulah. Di negeri ini memang banyak setannya. Hei Siti, cepat bawa kemari kopi itu…Naah, bagus, bagus….Yoroshi…”
Siti datang membawa empat gelas kopi. Ketika dia akan meletakkannya jepang yang bertubuh kurus memeluk pinggangnya. Siti terpekik.
”Tak apa. Tak apa. Saya sayang Siti. Saya sayang Siti. Saya akan belikan Siti kain.” Jepang kurus itu merayu sambil mencium-cium punggung Siti. Siti menangis. Segelas kopi terserak. Jepang-jepang itu tertawa. Ayah Siti pernah belajar silat. Namun menghadapi empat serdadu dengan samurai ini hatinya jadi gacar. Apalagi tak jauh dari kedainya terdapat kamp tentara jepang. Dia terpaksa diam.
Jepang kurus itu sudah mendudukkan siti di pangkuannya. Kemudian membelai wajah gadis itu. Kemudian mencium pipinya. Bau sake membuat Siti ingin muntah. Bau keringat jepang itu membuat Siti hampir pingsan.
”Mana kopi saya Siti….”
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang jepang-jepang itu. jepang-jepang yang sedang tertawa itu terdiam. Mereka menoleh. Dan melihat pada lelaki yang masuk tadi yang duduk menunduk membelakangi mereka. Di kanannya di atas meja kelihatan tongkat kayu melintang. Dialah yang barusan minta kopi pada Siti.
”Kamu orang bicara sebentar ini?” si kurus bicara.
”Ya,” orang itu menjawab perlahan
”Apa bicara kamu orang?”
”Saya tadi meminta kopi. Dan siti terlalu lama.”
”Kamu bisa bikin sendiri kopi. Itu ada air di tungku.”
”Tidak. Saya meminta siti yang membikinkan…”
”Siti ada perlu dengan saya…”
”Tidak. Dia harus membikin kopi untuk saya…
”Bagero. Kurang ajar….”
”Siti mana kopi saya,” anak muda itu tetap tenang dan menunduk tanpa mengacuhkan jepang yang berang itu. Siti melepaskan dirinya dari pelukan jepang tersebut. Namun si kurus mendorong tubuh Siti ke pangkuan temannya satu lagi. Lalu dia sendiri tegak dengan gelas kopi di tangannya. jepang itu berjalan ke arah anak muda yang meminta kopi itu.
”Kau minta kopi ya ini minumlah”
Berkata begitu si kurus menyiramkan kopi itu ke kepala anak muda tersebut. Namun tiba-tiba ada cahaya berkelebat cepat sekali. Dan...trasss Gelas di tangan jepang itu belah dua. Kopinya tumpah ke wajahnya sendiri. Tangannya luka mengucurkan darah jepang itu terpekik kaget dan melompat mundur. Anak muda itu masih membelakang. Kini kelihatan dia lambat-lambat meletakkan tongkatnya. Samurai tanpa terasa keempat serdadu itu berkata sambil tegak. Mereka menatap dengan kaget.
”Siti, ambilkan kopi untuk saya…”
Anak muda yang tak lain daripada si Bungsu itu berkata lagi perlahan. Dia masih teap duduk memunggungi keempat serdadu jepang tersebut. Si kurus yang tangannya luka, tiba-tiba dengan memekikkan kata Banzai yang panjang mencabut samurainya. Dan menebas leher si Bungsu. Namun tiba-tiba setengah depa di belakang anak muda itu, sebelum dia sempat membabatkan samurainya sebacokpun, tubuhnya seperti ditahan.
Ternyata yang menahan adalah ujung tongkat kayu anak muda itu. Samurai itu tak dia cabut. Hanya sarungnya yang dia hentakkan ke dada tentang jantung si kurus. Kini mereka berempat, termasuk Siti dan ayahnya, baru dapat melihat dengan jelas wajah anak muda itu. Seorang anak muda yang berwajah gagah, tapi amat murung.
”Saya tak bermusuhan dengan kamu kurus. Kalau engkau coba melawan saya, engkau akan mati seperti anjing. Pemilik kedai ini serta anak gadisnya juga tak bermusuhan dengan kalian-Kalian datang menjajah kemari. Kalian telah banyak menangkapi para lelaki. Dan memperkosa wanita negeri ini. Karena ini jangan ganggu gadis ini. Saya meminta kopi, jangan ganggu saya minum….”
@
I. Tikam Samurai