Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti babi ini. Namun Babah itu memang orang sadis. Di tangannya tiba-tiba telah berada pula sebuah bijih dadu. Meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu siap lagi unt uk dia sentilkan pada si Bungsu.
”Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka sebelum salah satu di antara kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau tidak di lehermu!”
Benar-benar sadis. Mau tak mau si Bungsu memang harus buka mulut.
”Saya ingin menuntut balas kematian keluarga saya ..” katanya perlahan.
”Dengan apa akan kau tuntut? Dengan menembaknya? Atau dengan menyerang rumahnya bersama gerombolan Indonesia? Hmm ..? Katakan bagaimana caranya!!”
”Dengan cara saya sendiri ..”
”Bagaimana caramu!”
Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu bangkit. Kemudian mendekatinya.
”Katakan bagaimana caramu ..!” desis Babah itu.
Perwira-perwira Jepang yang lain menatap dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampaknya adalah salah seorang Perwira Intelijen Jepang, karena kelihatan sekali dia disegani perwira-perwira itu. Hanya saja jabatannya itu dia rangkap sebagai penjudi dan pengusaha rumah lacur. Demikian tak bermoralnya dia, sehingga demi pangkat dan karirnya di mata Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan nafsu perwira-perwira Jepang tersebut. Karena si Bungsu masih tetap diam, Babah itu menjitak kepalanya. Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam keningnya. Keningnya segenap bengkak sebesar telur.
”Katakanlah dengan siapa kau akan pergi menyerang Tai-i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul, monyet!”
Kepalanya yang kena jitak amat sakit, tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Benar-benar sakit hati si Bungsu menerima perlakuan Babah gemuk ini. Pertama cara dia menekek atau menjitak kepalanya tadi. Benar-benar menyinggung hatinya. Kemudian ucapannya menyebut ”monyet” benar-benar menyakitkan. Saking sakit hatinya, anak muda itu lupa mengontrol diri. Tanpa dapat dia tahan, dia meludahi muka Babah gemuk itu. Ludahnya menghantam wajah si Babah. Anak muda ini benar-benar lupa diri saking marahnya. Dia tak sadar sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa dibunuh si Babah seketika. Kalau itu terjadi, maka dendamnya pada Saburo takkan pernah terbalaskan.
Namun si Babah yang mukanya sudah seperti udang direbus itu benar-benar tak memberi ampun. Kakinya melayang. Si Bungsu yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya tercampak. Dan masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian tubuhnya jatuh. Masih belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan main. Dia mendengar tawa si Babah. Yang menendangnya barusan ini ternyata si Baribeh. Untung si Baribeh. Sebab kalau Cina itu yang menendang, dia yakin empat rusuknya akan patah. Tendangan Baribeh itu membuat dia terguling lagi. Dia tertelungkup diam. Kening, telinga, mulut dan hidungnya melelehkan darah.
”Anjing! Melayu anjing, berani kau meludahiku, kupotong lidahmu ” Sumpah si Babah dan mendekati tubuhnya. Si Bungsu benar-benar berada dalam keadaan kritis. Babah itu mengambil sebuah pisau dari atas meja. Dia nampaknya memang berniat melaksanakan sumpahnya untuk memotong lidah si Bungsu. Namun saat itu si Bungsu merasa ujung jarinya menyentuh sesuatu. Tanpa terlihat, masih dalam posisi tertelungkup, dia membuka mata.
Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya! Langkah si Babah makin mendekat. Makin dekat. Kaku berjongkok dan berniat memegang wajah anak muda itu untuk mengeluarkan lidahnya. Namun dengan gerakan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh semua orang yang ada dalam ruangan itu, si Bungsu berguling dua kali kekanan. Dua kali kekiri. Dalam gulingan yang amat cepat dan ringan dia melompat berdiri. Secarik cahaya putih berkelebat amat cepat. Tiga orang serdadu Jepang yang tadi menekan leher dan dadanya dengan sangkur masih melongo tatkala kilatan cahaya itu menerpa wajah mereka. Mereka terpekik dan roboh.
Darah muncrat dari tubuh mereka. Kini si Bungsu tegak di atas unggukan uangnya dengan sikap seperti seekor Rajawali yang siap menyambar mangsanya. Samurainya terhunus melintang di depan dada. Samurai itu berlumuran darah. Matanya menatap tajam pada Babah gemuk itu.
”Siapa saja yang bergerak mencabut senjata atau berniat lari atau memekik, akan kucabut nyawanya. Tegak saja di tempat kalian baik-baik!” Ujar anak muda itu perlahan. Suaranya dingin dan penuh ancaman. Perwira Ichi yang semula berniat mencabut pistol, jadi tertegun. Tangannya terhenti di gagang pistolnya. Ancaman anak muda ini menggetarkan jantungnya. Namun jarak antara dia dengan anak muda itu cukup jauh. Lagipula tubuhnya terlindung oleh tubuh seorang wanita. Dia pasti aman kalau mencabut pistol itu diam-diam kemudian menembaknya pada tengkuk anak muda pongah ini. Dia sudah berniat untuk melaksanakan maksudnya.
@
I. Tikam Samurai