Tikam Samurai - 373

”Jangan banyak kecek waang, polisi tumbuang. Kalau kau tak percaya, bahwa kami akan membantai penompang ini, ini buktinya!”
Terdengar sebuah tembakan. Seseorang meraung dan jatuh! Terdengar pekik panik. Lalu bentakan menyuruh diam. Semuanya kembali terdiam.
”Nah, polisi cirik, dengarlah! Kami telah peringatkan kalian. Kalau ada di antara penumpang ini yang mati, maka itu salah kalian. Bukan salah kami, kalian dengar!? Kalian yang tak mau menuruti perintah kami. Apakah perlu saya tambah jumlah yang mati?”
”Benar-benar anjing yang tak berperikemanusiaan…!” bisik komandan muda itu.
Mereka memang tak berdaya. Disatu pihak mereka ingin menangkap bajingan-bajingan itu. Ingin menyelamatkan penumpang. Tapi ternyata bandit-bandit itu mempunyai pertahanan yang ampuh. Menjadikan penumpang sebagai sandera.
”Saya hitung sampai empat. Kalau kalian tak melemparkan senjata kalian, maka ada empat orang yang akan mati! Satu…!” Datuk Hitam itu segera saja menghitung.
”Baik, kami akan melemparkan senjata kami. Tapi apa kehendakmu, Datuk?”
”Jangan ikut campur urusan kami. Apapun kehendak kami bukan urusanmu. Dua…!” dia melanjutkan hitungannya.
Namun tiba-tiba saja sebuah suara memecah dari arah gerbong yang berada di belakang Datuk Hitam.
”Kau takkan pernah menghitung sampai tiga, Datuk!”
Datuk Hitam menoleh, ke belakangnya. Di sana sebenarnya ada dua anak buahnya yang tegak menodongkan bedil kepada penumpang. Demi malaikat!, kedua anak buahnya itu kini tergeletak dengan kening mengalirkan darah dan mata mendelik. Keduanya tergeletak mati! Diantara bangkai kedua anak buahnya itu tegak dengan tenang seorang lelaki yang dia kenal betul. Yaitu lelaki yang menghantam kerampangnya di suatu sore di Los Galuang, tatkala dia akan merampas uang yang diberikan lelaki itu kepada tukang salung. Kini lelaki yang menghajarnya itu tegak di sana, dan dialah yang barusan bicara!
Belum habis kagetnya, ketika di ujung gerbong yang satu lagi, yang berada di hadapannya, seorang anak buahnya yang juga tengah menodongkan bedil kena hantam popor senjata polisi yang muncul secara tiba-tiba. Anak buahnya itu jatuh melosoh dan bedilnya diambil anggota polsi tersebut. Sadar dirinya dalam bahaya, Datuk itu menarik pelatuk pistol yang sejak tadi larasnya dia arahkan ke kepala seorang perempuan. Namun telunjuknya yang sudah menempel di pelatuk pistol itu tak kunjung bisa dia gerakkan. Bersamaan dengan itu dia merasakan belikatnya linu luar biasa.
Dia tak tahu bahwa sebuah samurai kecil telah tertancap di salah satu bagian belikatnya, yang menyebabkan tangannya lumpuh! Datuk itu kembali menarik pelatuk pistolnya, tapi jangan menariknya, menggerakkan telunjuknya saja dia tak mepunyai kemampuan. Sementara sakit di belikatnya terasa semakin menusuk jantung. Mengetahui bahwa Datuk Hitam itu tak bisa menggerakkan tangannya, suami perempuan yang sejak tadi menggigil karena ditodong Datuk keparat itu, menyentak parang yang memang dia bawa untuk menjaga diri, tapi sejak tadi takut dia mempergunakannya karena isterinya berada di bawah ancaman moncong pistol.
Parang tajam itu dia tebaskan, dan..tangan Datuk Hitam yang memegang pistol itu putus. Tercampak ke lantai gerbong dengan pistol masih dalam genggaman tangannya yang putus itu! Datuk celaka itu sebenarnya tadi sudah berusaha menjauhkan tangannya dari tebasan itu. Namun entah sihir apa yang mengenai dirinya, tangannya tak mampu dia gerakkan sedikitpun! Lalu, begitu tangannya putus dia meraung-raung kesakitan!
Namun tetap berdiri tak bisa bergerak sedikitpun! Melihat kesempatan itu lelaki dan perempuan yang ada di gerbong tersebut, yang tadi berada di bawah ancaman Datuk itu dan anak buahnya, bangkit serentak merangsek ke arah Datuk yang amat ditakuti dan dibenci itu. Dengan segala apa yang bisa diraih mereka menghantam Datuk tersebut yang tetap saja tegak tak bisa bergerak sedikitpun!
Dia meraung dipelasah para penompang yang sudah muak melihat kekejamannya. Akhirnya, massa baru kembali ke tempatnya setelah Datuk itu tergelimpang mereka hakimi sampai kepalanya pecah dan leher hampir putus, mata mendelik dan lidah terjulur! Itulah akhir riwayat orang Minang yang menjadi penjahat amat sadis dalam kecamuk perang saudara. Datuk pemakan masak mentah, orang kampungnya sendiri dia jahanami. Berakhir sudah sebuah kelompok penjahat yang amat kejam, ditakuti sekaligus dibenci masyarakat di tanah Minang selama pergolakan itu.
Saat itu pula kereta berhenti di stasiun Payakumbuh. Polisi yang bertiga itu mencari anak muda yang tadi melumpuhkan kedua begal di gerbong tersebut. Mereka ingin mengucapkan terimakasih. Namun si Bungsu sudah berbaur di dalam orang ramai yang turun di stasiun. Dia ke pasar dan lenyap dalam palunan orang ramai. Kemudian segera menuju ke perhentian bendi. Dia ingin segera sampai ke kampungnya, Situjuh Ladang Laweh. Niatnya pulang ke kampung hanya satu, ziarah ke makam ibu, ayah dan kakaknya!
Hari sudah malam. Di dalam sebuah kedai kecil kelihatan berkumpul walinagari dan lelaki tua pemilik kedai serta anak gadisnya. Selain itu ada tiga orang lelaki berbedil. Mereka nampaknya dari pasukan PRRI. Hal itu jelas kelihatan dari pakaian yang dikenakan ketiganya.



@



Tikam Samurai - 373