Barangkali ini mudah saya ucapkan, karena bukan saya yang disakiti. Melainkan engkau. Namun, demi Tuhan, kalaupun saya yang disakiti saya akan bersikap begitu….sekali lagi maafkan saya karena tak mengetahui bahwa engkau mencintai Salma. Dan tetaplah jadi sahabat kami….”
Dan Nurdin memang bersungguh. Kedua lelaki ini memang bukan sembarang lelaki. Banyak pertempuran telah mereka lalui. Bahkan sampai kini mereka juga sedang bertempur. Bertempur dengan perasaan. Dan justru terkadang pertempuran tanpa bedil inilah yang lebih berat.
Si Bungsu balas menggenggam tangan sahabatnya itu.
“Engkau banyak mengajar saya tentang hidup ini kawan. Insya Allah, dalam hidup saya tak pernah ada rasa benci dan dendam. Sedang pada orang lain saya mengalah. Apalagi pada seorang sahabat. Namun kepada engkau saya tak perlu mengalah Nurdin. Karena engkau tak pernah berbuat apa-apa menyakiti hatiku. Tentang Salma, bukankah itu soal takdir? Saya bangga dia telah menceritakan segalanya padamu. Saya tahu sejak dulu, dia gadis yang jujur dan berhati mulia. Engkau adalah saudaraku. Dan dia juga”
“Terimakasih, sahabat…!”
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Nurdin. Dan alangkah lega dan lapangnya perasaan mereka setelah itu.
Beberapa kelasi turun dari motor tempel ke dermaga. Beberapa perempuan mengikutinya. Ada Cina yang menanti di luar dermaga, kemudian masuk ke mobil yang menanti. Kapal-kapal berlabuh jauh dari dermaga. Membuang jangkar agak ditengah teluk. Kelasi yang turun naik ke kapal harus memakai sampan atau dengan motor tempel.
“Kita pulang…” kata Nurdin setelah melirik pada beberapa lelaki yang turun menggandeng beberapa perempuan muda. Si Bungsu tegak mengikuti Nurdin. Mereka memanggil sebuah taksi. Masuk, dan pulang!
Namun begitu taksi itu akan membelok keluar dari pelabuhan, serentetan tembakan bergema. Kaca samping taksi yang mereka tumpangi berderai hancur. Terdengar pekik tak menentu. Ada suara deru mesin mobil menjauh. Ada rintihan di samping si Bungsu. segalanya begitu cepat terjadi. Hampir-hampir tak ada waktu untuk berfikir.
Dan si Bungsu merasakan darah melelh di bahunya. Tapi dia yakin, darah itu bukan darahnya. Takkala mobil itu tadi akan mebalik, yaitu beberapa detik saja sebelum peluru memberondong, ada firasat tak sedap menyelusup ke hati si Bungsu.
Naluri yang amat tajam terhadap bahaya yang mengancam, segera saja secara otomatis. Hanya saja, dalam mobil dengan Nurdin begini dia tak tahu bahaya apa yang akan menyarangnya. Perasaan tak sedap itu menyebabkan dia menoleh ke belakang. Ada sebuah mobil datang dari belakang. Firasatnya jua yang menyuruhnya untuk membungkuk. Namun saat itulah berondongan peluru itu menghantam mobil mereka.
Dan dia tahu, darah yang membasahi bahunya adalah darah Nurdin. Dia Bangkit. Nurdin terkulai. Tubuhnya berlumur darah. Orang-orang di restoran dekat dermaga pada tegak kaget. Tak ada yang berani mendekat. Nampaknya mereka takut terlibat.
“Ke Konsulat….antarkan saya ke Konsulat Indonesia..” Nurdin berkata sambil tetap terguling di pangkuan si Bungsu. sopir taksi itu menjalankan taksinya.
“Apakah tidak ke hospital?” tanya sopir sambil melarikan mobil.
“Tidak. Ke Konsulat saja…” kata Nurdin terengah.
“Nurdin… ada apa..? si Bungsu yang memegang kepala temannya dipangkuannya itu bertanya kaget. Nurdin menghela nafas. Nampaknya dia sangat kesakitan.
“Kau…kau lihat perempuan dan Cina-cina yang turun dari kapal tadi..?” Nurdin balik bertanya sambil menahan rasa sakit. Si Bungsu mengangguk. Dia ingat semuanya.
Nurdin memegang bahu si Bungsu.
“Bungsu, dengarlah….” Dia coba mengumpulkan tenaga, ”kalau nyawa saya tak bisa ditolong, ada dua hal yang saya minta engkau melakukannya untuk saya, Bungsu. maukah engkau…?”
Si Bungsu mengangguk. Dia tak perlu bertanya apa permintaan temannya itu. Apapun yang diminta sahabatnya ini pasti akan dia lakukan demi menyenangkan hatinya. Nurdin kelihatan agak lega melihat angguknya itu.
“Terimakasih. Saya senang engkau mau melakukannnya untuk saya. Pertama, engkau lindungi Salma dan anak saya. Hanya pada engkau mereka saya percayakan….” Nurdin terhenti, nampaknya dia berusaha mengumpulkan sisa tenaganya. Mobil dilarikan kecang menuju konsulat Indonesia. Meliuk-liuk dan berusaha mencari jalan pendek. Namun pada saat itu, si Bungsu jadi kaget mendengar permintaan temannya itu.
Tapi suara Nurdin segera memintas kekagetannya:
“Jangan menolak Bungsu. kalau engkau mau menikahi Salma, maka anggaplah dia sebagai adikmu. Namun percayalah, aku akan sangat berterima kasih, kalau engkau mau menikahinya. Percayalah, dia seorang perempuan berhati mulia…. Dan, permintaanku yang kedua, ini sebenarnya bukan tugasmu, … ini merupakan tugas konsulat dan pemerintah Indonesia…”
Nurdin terhenti lagi. Agak lama baru dia menyambung.
@
Tikam Samurai - III