Pimpinan tentara Jepang di Payakumbuh Mayor Sin Ici Eraito mengumpulkan semua perempuan yang ada di rumah itu, termasuk semua serdadu yang menggerebek rumah tersebut. Kepada mereka diperintahkan untuk tetap tutup mulut. Tak seorangpun boleh membicarakan hal ini. Juga diperintahkan, agar set iap kematian tentara Jepang dalam serangan atau perkelahian dengan penduduk pribumi, harus dipeti-eskan. Jangan sampai menjalar ke luar. Sebab kalau berita itu bocor ke luar maka ada dua hal yang membahayakan kedudukan tentara Jepang. Pertama, penduduk pribumi yaitu bangsa Indonesia yang sudah berniat melawan Jepang, akan bertambah semangatnya. Sebab ternyata ada orang yang mampu membunuh tentara Jepang yang ditakuti itu. Dan hal ini bisa mempercepat timbulnya pemberontakan anti Jepang di Minangkabau. Kedua adalah soal prestise.
Tentara Jepang sudah tentu akan malu jika tersiar kabar bahwa tentara kaisar Tenno Heika dari negeri Matahari Terbit yang kesohor itu mati di tangan penduduk pribumi. Apalagi jika pecah kabar, bahwa tentara Jepang itu justru mati oleh sebuah Samurai. Tak terbayangkan geger yang akan timbul.
Sebagai komandan tertinggi yang membawahi Payakumbuh dan sekitarnya, Mayor Eraito tidak mau mengambil resiko d ihukum oleh Kolonel Fujiyama karena kematian perwira-perwiranya secara beruntun ini. Dia berusaha menutupi kejadian ini untuk tak bocor keatas. Sebab saat itu hukuman yang terkenal diantara perwira Jepang itu adalah hukuman Harakiri. Setiap perwira atau serdadu yang dinilai gagal total, kepadanya diberi ”kehormatan” untuk bunuh diri. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya dia memerintahkan untuk menutup berita pembantaian itu serapat mungkin.
Para tentara serta perempuan yang diperintahkan untuk tutup mulut itu memang melaksanakan tugas mereka dengan baik. Sebab bila membocorkan rahasia, mereka akan berhadapan dengan regu tembak. Mereka tahu, setiap orang yang ada di sekeliling mereka bisa saja menjelma jadi mata-mata Kempetai. Mereka tak dapat mempercayai seorangpun. Baik orang Cina maupun orang Melayu. Mereka bisa saja jadi mata-mata Jepang. Babah gemuk itu dan Baribeh serta si Juling menjadi contoh jelas tentang itu. Betapa Cina dan anak Minang sendiri rela menjadi mata-mata bagi penjajah negerinya.
Buat sementara, si Bungsu aman. Sekurang-kurangnya tak begitu banyak tentara Jepang yang mengetahui, bahwa saat ini ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Yang telah membantai puluhan orang tentara Jepang dalam tahun ini. Namun perbuatan Mayor Sin Ichi Eraito, komandan tentara Jepang di Payakumbuh itu, yang menyembunyikan kematian anak buahnya pada Kolonel Fujiyama di Bukittinggi, yaitu Komandan Tertinggi Balatentara Jepang di Sumatera hanya bertahan beberapa bulan.
Terbongkarnya kematian itu bermula dari surat-surat tugas dari Markas Besar Tentara Jepang di Bukittinggi. Ada beberapa perwira yang ditarik ke Bukittinggi dari Payakumbuh. Nah diantara yang ditarik itu ada yang mati di tangan si Bungsu. Semula masih akan ditutupi dengan menyebutkan bahwa perwira itu sakit keras, dan tengah dirawat. Beberapa hari kemudian dilaporkan perwira itu mati karena penyakitnya.
Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu, kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan pangkat di Bukittinggi.
Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti biasa bisa dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam pertempuran seperti tahun-tahun dalam amukan perang dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito. Kolonel Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam-diam Chu Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari d iterimanya laporan Eraito.
Kedua mata-mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos-pos komando di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajurit-prajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa.
Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia menulis surat pada Eraito, agar segera datang melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.
@
I. Tikam Samurai