Tikam Samurai - 71

Lelaki itu adalah kurir dari Datuk Penghulu Basa. Dari dia d iharapkan berita tentang dimana kini Kapten Saburo Matsuyama berada. Sampai saat ini, si Bungsu belum mengetahui kalau Kapten yang telah naik pangkat jadi Mayor itu telah dipaksa pensiun dan dipaksa pulang ke Jepang oleh Kolonel Fujiyama. Lelaki itu nampak tergesa. Si Bungsu hanya menoleh sebentar. Kemudian membelakangi le laki itu, menghadap kopi dan pisang gorengnya. Lelaki itu mengambil tempat duduk disampingnya.
“Kopi pahit satu …” Katanya sambil menjangkau sebuah goreng ubi. Dia mengunyah goreng itu.
Sementara si Bungsu menghirup kopinya. Lelaki yang baru datang itu melayangkan pandangannya ke berbagai penjuru. Ketika dia lihat tak ada yang mencurigakan, dia berkata perlahan.
“Dia sudah dipensiunkan …”
Si Bungsu menghirup lagi kopinya, lalu bertanya.
“Dimana dia kini ?”
“Sudah pulang ke Jepang …”
Si Bungsu tertegun. Hampir saja gelas di tangannya jatuh. Sudah pulang ke Jepang Mungkinkah itu? Dia seharusnya tak menoleh pada lelaki tersebut. Namun dia tak perduli. Dia menatap pada lelaki yang tetap saja menatap kedepan dan mengunyah goreng ubinya.
“Pulang ke Jepang ?”
“Ya. Fujiyama tidak suka tentara Jepang bertindak sadis. Karena itu dia memaksa Mayor itu untuk pensiun dan memaksanya untuk pulang ke Jepang”
“Tapi buktinya masih banyak pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang ..”
“Ya. Dan itu pasti tak sampai ketelinga Fujiyama.Sebuah peraturan dan disiplin yang baik yang diputuskan atasan, belum tentu baik pelaksanaannya sampai ke bawah. Tapi jelas, Fujiyama sebagai pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Sumatera telah berbuat banyak untuk membuat pasukannya agar tak menjadi iblis. Hanya saja bawahannya tak semua mendukung kebijakannya. Atas kebersihannya itu, Fujiyama telah dinaikkan pangkatnya dari Tei Sha (Kolonel) menjadi Syo Sho (Mayor Jenderal)..”
“Kenaikan dua tingkat ?”
“Tidak. Hanya satu tingkat. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal pangkat Brigadir Jenderal. Dari Kolonel langsung ke Mayor Jenderal …”
“Sudah berapa lama Saburo pulang ke Jepang ?”
“Tiga bulan yang lalu ..”
“Tiga bulan yang lalu ?”
“Ya ..”
“Sebelum itu dia berada di kota ini ?”
“Tidak. Setelah pindah dari Payakumbuh, dia berada di kota ini dua bulan. Kemudian diangkat menjadi chu-Tei cho (Komandan Kompi di Batusangkar). Dan ketika dia ..” ucapan lelaki itu terhenti ketika mereka mendengar suara bentakan dan derap sepatu.
Mereka menoleh, dan empat orang Kempetai kelihatan menuju ke arah mereka. Di depan mereka ada seorang lelaki. Jelas lelaki itu orang Indonesia. Lelaki itu menunjuk kearah kedai kopi dimana kini mereka duduk.
“Jahannam. Ada penghianat. Saya sudah menduga, banyak orang awak yang jadi penghianat. Awas dia …saya harus pergi”
Lelaki itu beranjak cepat. Namun bentakkan menyuruh berhenti terdengar dari mulut Kempetai itu. Karena hari malam, lelaki itu tak perduli. Dia melompat, namun saat itu senapan Kempetai itu meledak. Lelaki itu terpekik rubuh. Kakinya kena tembak. Kempetai Kempetai itu berlarian dengan samurai terhunus.
“Larilah Bungsu. Katakan pada pak Datuk saya terbunuh di sini. Saya akan melawan sampai tetes darah terakhir ..”
Lelaki itu bicara sambil tetap berguling seperti mati. Keempat Kempetai itu sampai di sana. Yang satu menunduk membalikkan tubuh lelaki yang sampai saat itu tak diketahui oleh si Bungsu siapa namanya. Begitu Jepang itu menjamah tubuhnya, begitu lelaki itu bergerak. Tangannya terayun keatas. Keris di tanganya menancap di leher Kempetai itu. Mati Demikian cepatnya peristiwa itu berlangsung. Si Bungsu masih duduk ditempatnya tadi. Tangannya masih memegang gelas berisi kopi. Pemilik lepau itu juga tertegak diam.
Kini, kedua Jepang yang masih hidup bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki sebagai jahanam penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si Bungsu tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu tersebut. Lelaki itu telah berkata sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan berjuang sampai mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, set iap pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai, akan mendapatkan siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direngutkan. Kalau begitu ditangkap kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi soal. Artinya mereka tak takut menghadapi kematian yang demikian. Tetapi menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari dipatahkan satu demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan tahan ? Begitulah penyiksaan model Kempetai.



@


Related Posts

Tikam Samurai - 71