“Secara hakikat, kalian telah menjadi suami isteri.”
Datuk Penghulu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh padanya.
“Ya. Kalian telah sama-sama berikrar untuk jadi suami isteri. Ikrar yang suci dan ikhlas itu saja sudah merupakan suatu ikatan. Meskipun belum disahkan oleh kadi dan tak ada saksi. Namun pada mulanya, dahulu kala lembaga pernikahan belum ada. Dia hanya ada setelah Islam atau agama dikenal manusia. Sebelum agama turun ke muka bumi, sebelum lembaga pernikahan seperti sekarang dikenal manusia, maka pernikahan dilangsungkan secara apa adanya, sementara yang jadi saksi bisa manusia, bisa pula tak ada saksi. Tetapi yang jadi kadinya secara hakikat adalah Tuhan”
Si Bungsu masih tetap diam mendengar ucapan Datuk Penghulu ini. Sementara itu, di luar hari merangkak memasuki malam. Di langit guruh terdengar menderam-deram. Angin bersuit-suit. Tanpa mereka sadari, Imam yang tadi akan menikahkan si Bungsu dan Mei-mei sudah cukup lama berlalu.
Adalah si Bungsu yang pertama menegakkan kepala. Dalam geram guruh dan suitan angin di luar surau, dalam kesepian yang kelam itu, dia merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka sebenarnya harus merasa aman dengan guruh dan angin ribut itu. Apalagi kalau hujan sempat turun. Sebab dengan demikian Jepang yang mencari mereka tentunya menarik diri ke posnya dan mereka dengan aman bisa menguburkan jenazah Mei-mei.
Kemudian dengan aman pula bisa melarikan diri dari kepungan tentara-tentara Jepang itu. Namun tidak demikian halnya dengan si Bungsu. Ada firasat lain yang membuat hatinya tak enak dalam kesunyian di loteng surau kecil itu. Nalurinya yang tajam, yang terbiasa mencium marabahaya, yang telah terlatih ketika hidup lebih dari setahun bersama binatang-binatang buas di belantara Gunung Sago, kini mencium bahaya adanya yang tersembunyi.
“Ada apa?” Datuk Penghulu bertanya melihat perobahan air muka anak muda itu.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia masih tetap duduk di dekat mayat Mei-mei. Namun matanya berkilat aneh. Wajahnya jadi tegang.
“Kita terperangkap. . . .,” katanya perlahan.
Datuk Penghulu menegakkan kepala.
“Perangkap ?” desisnya sambil coba menangkap suara-suara yang menyelingi suitan angin dan gemuruh guruh di luar surau.
Namun dia tak menangkap suara apa-apa. Tapi dia percaya pada anak muda ini. Dia sudah beberapa kali membuktikan bahwa indera dan naluri anak muda didepannya itu amat tajam. Datuk itu segera teringat pada Imam yang turun tadi. Apakah Imam itu mengkhianati mereka? Ternyata Jepang itu memang mengetahui persembunyian mereka dari Imam tersebut.
Ketika Datuk Penghulu membawa Imam itu naik sore tadi, seorang penduduk pribumi yang telah lama jadi mata-mata Jepang, melihat mereka. Dia segera saja melaporkannya kepada seorang Letnan yang berada tak jauh dari sana. Dan Letnan itu menanti di rumah si Imam. Begitu Imam itu muncul di rumahnya, dia jadi terkejut. Di ruang depan rumahnya sudah berkumpul dua anak gadisnya dan istrinya. Mereka di kawal oleh enam orang Serdadu Jepang dengan bedil dan bayonet terhunus.
“Nah, kini katakan cepat siapa yang ada di surau itu pak imam.?”
Letnan Jepang itu segera saja buka suara begitu dia masuk. Imam itu jadi pucat. Namun rasa nasionalnya yang tebal menolak untuk membuka rahasia.
“Tak ada siapa-siapa. Di sana hanya seorang perempuan yang akan sembahyang…”
“Apakah tak ada orang lain?”
“Tak ada. Boleh lihat kesana.”
Imam itu berkata pasti. Sebab dia tahu, loteng surau itu dari bawah kelihatannya hanya terbuat dari bambu. Padahal loteng itu berlapis dua. Bahagian atasnya terbuat dari papan. Garin serta penjaga mesjid lainnya tidur disana. Jalan naik ke atas berada di bahagian belakang, tersembunyi dari pandangan orang.
Letnan itu tak mengulangi pertanyaan, tapi tangannya langsung bekerja. Sebuah tamparan mendarat di pipi si Imam. Demikian kuatnya tamparan itu, sehingga Imam itu terpelanting dan mulutnya berdarah. Istri dan anak-anaknya terpekik dan mulai menangis. Imam itu menatap dengan penuh kebencian pada Jepang-Jepang tersebut.
“Jahanam. Kalian takkan selamat di tangan negeri ini . . .” desisnya.
Letnan itu menggerakkan kaki. Ujung sepatunya yang keras mendarat di dagu Imam tersebut. Kembali Imam ini terpelanting. Kali ini giginya copot beberapa buah. Istrinya memburu dan memeluknya. Ketika anak gadisnya juga mendekat. Letnan itu menyambar tangannya. Gadis itu terpekik dan meronta. Tapi Letnan itu merenggut pakaiannya hingga robek.
“Nah, Imam, bicaralah yang sebenarnya. Kalau tidak, anakmu ini akan kubawa ke kamar ..”
Ujar Letnan itu menyeringai. Imam itu melompat bangkit ingin menghantam letnan tersebut. Tapi sebuah tendangan kembali membuat dia terjajar.
“Hmm Baik. Kalau kau tak mau buka suara, saya akan menikmati anakmu ini.”
Si Letnan lalu menyeret gadis berusia enam belas tahun itu ke bilik, Akhirnya Imam itu tak bisa berbuat lain dari pada harus mengaku. Dia berharap agar kedua orang yang ada di loteng surau itu menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Dia berharap agar kedua mereka segera turun dan melarikan diri.
@
I. Tikam Samurai