Tikam Samurai - 90

“Baik, saya ingin mencoba mengambil samuraimu buyung. Dan jangan menangis kalau dapat merampasnya. . .”
Sehabis berkata ini lelaki itu meninggalkan tempat duduknya. Namun dia di cegat oleh Datuk Penghulu.
“Sabarlah. Sebagai pimpinan saudara harus banyak sabar. Anak muda itu tak bergurau dengan menyebutkan bahwa sudah puluhan Jepang mati di mata samurainya. Kau akan sia-sia merebut samurainya itu. .”
Datuk Penghulu sebenarnya bermaksud baik. Ingin menyabarkan dan menghindarkan pertumpahan darah di antara sesama awak. Tapi larangannya itu justru dianggap sebagai gertak oleh lelaki itu. Dia menyentakkan tangannya yang tengah dipegang oleh Datuk Penghulu. Datuk Penghulu tahu, demikian juga lelaki yang lain dalam ruangan itu, bahwa lelaki yang satu ini cukup berisi. Dia juga seorang guru silat dan guru ilmu batin. Kini dia tegak dua depa di depan si Bungsu.
“Nah buyung, kau serahkan baik-baik samurai celakamu itu atau kurampas dari tanganmu. Mana yang kau pilih. . .?”
Semua yang hadir menatap dengan tegang. Datuk Penghulu sendiri jadi serba salah. Dia menatap saja tepat-tepat pada si Bungsu.
“Saya rasa tak ada salahnya Tuan mengambil samurai celaka ini . .” si Bungsu berkata sambil tanganya bergerak. Suatu gerakan yang alangkah cepatnya. Lelaki itu, dan lelaki-lelaki yang ada dalam ruangan rapat khusus itu, hanya melihat secarik cahaya putih. Muncul dari dalam sarung samurai dan masuk lagi ke sarung samurai itu. Lamanya hanya sekitar empat detik. Ketika terdengar bunyi ‘trak’ maka samurai itu sudah masuk lagi ke sarungnya.
“Ambillah. . .,” kata si Bungsu menyambung ucapannya.
Tapi lelaki itu tegak dengan kaget. Mukanya berobah jadi pucat pasi. Dia memakai baju kemeja. Empat buah kancing baju kemeja itu sudah putus dan jatuh ke lantai. Tidak hanya sampai disitu, persis tentang jantungnya kemeja itu potong dua dari kanan ke kiri dan dua dari kiri ke kanan. Namun tak segores pun kulitnya tersentuh oleh ujung samurai. Demikian cepatnya, demikian telitinya, dan demikian terlatihnya gerakan anak muda itu.
Lelaki itu jadi pucat pasi. Karena kalau saja anak muda itu mau, maka tubuhnya pasti sudah putus beberapa potong. Dia menjilat bibirnya yang serta merta jadi kering. Si Bungsu tersenyum tipis. Wajahnya jadi keras. Matanya berkilat.
“Sudah kukatakan, kita tak punya sangkut paut. Ingatlah itu baik-baik. Saya tak mencampuri urusan perjuangan kalian. Karena itu jangan campuri urusan pribadi saya. . . .” Ujar si Bungsu perlahan. Kemudian dia menoleh pada Datuk Penghulu.
“Saya tunggu Pak Datuk di luar. Saya rasa rapat ini bukan untuk orang seperti saya,”
Dia lalu mengangguk memberi hormat pada semua orang. Lalu berbalik dan melangkah dengan tenang keluar. Beberapa lelaki yang masih duduk di kursinya tiba-tiba bernafas lega. Mereka pada mengusap peluh yang entah kenapa mengalir saja di wajah mereka. Luar biasa, benar-benar luar biasa Lelaki yang tadi memimpim rapat berkata perlahan. Akan halnya lelaki yang buah bajunya dan bajunya tercabik-cabik putus itu, lambat-lambat kembali ke tempat duduknya.
“Ya… dia sangat hebat. Saya beruntung dapat mengetahuinya dengan pasti. . .,” katanya sambil duduk.
“Tapi percobaan itu sangat berbahaya. . . .,” yang berbaju kuning berkata.
“Habis yang lain tak ada yang mau melaksanakan rencana itu. . . .,” dia membela diri.
“Saya sendiri yakin anak muda itu akan mampu mengontrol dirinya. Tapi tetap saja peluh membasahi tubuh saya. . . .,” Ujar yang seorang lagi.
Datuk Penghulu terheran-heran mendengar pembicaraan teman-temannya ini. Dan yang memimpin rapat tadi mengetahui keheranannya itu. Dia lantas berkata:
“Ini semua sebuah sandiwara. Datuk dan anak muda itu sengaja kami undang kemari untuk sebuah pembuktian. Sudah tersebar dari mulut ke mulut, dari bisik ke bisik, bahwa ada seorang anak muda yang perkasa, anak Minang yang bangkit menuntut balas kematian keluarganya justru mempergunakan samurai sebagai senjatanya. Pimpinan tertinggi menyuruh kami mencek kebenaran itu. Dan sampailah akhirnya berita bahwa anak dan istri Datuk binasa dilaknati Kempetai.
Kami berduka atas peristiwa itu. Hari ini, kami ingin menyampaikan duka cita itu. Tapi harap maafkan, kami tak bisa menahan hati untuk tak membuktikan sampai dimana kehebatan anak muda itu mempergunakan samurainya. Kami menyangka hebat, sehebat yang diceritakan orang. Ternyata hari ini kami buktikan bahwa kehebatannya jauh melampaui yang diceritakan orang banyak. . . .”
Datuk Penghulu masih saja terheran-heran. Yang berbaju kuning, yaitu yang membawahi sektor Pasaman bicara pula, “Kita semua memerlukan anak muda seperti dia. Coba bayangkan hasil yang akan kita capai kalau ada sepuluh orang seperti dia. Sepuluh orang pemuda dengan kemahiran seperti itu. Ah …” lelaki itu tak menyudahi ucapannya.



@



Tikam Samurai - 90