Tikam Samurai - 430

“Jantungnya masih berdenyut lemah…”salah seorang berteriak.
Teriakan itu seperti mendatangkan harapan baru bagi si Bungsu. Dia mengangkat tubuh kawannya itu ketandu, kemudian ikut masuk kebahagian belakang ambulance tersebut, menunggui tubuh Tongky. Dua petugas memasukan slang karet ke mulut tongky, kemudian menekan dada tentang jantung tongky. Menekan pelan, menolong membuat nafas buatan. Tak ada hasil.
“Peluru tentang jantungnya ini harus dikeluarkan. Kita operasi,siapkan darah tambahan…”ujar dokter itu.
Ambulan itu meraung terus dan berlari kencang menuju rumah sakit. Membelah kota kota Dallas yang riuh rendah itu. Si Bungsu teringat sesuatu. Dia harus bertindak, kerja dokter ini pasti lamban.
“Apakah peluru yang dua itu dijantungnya?”tanyanya.
“Kita harap saja tidak, barangkali hanya melukai jantungnya sedikit. Tapi kita tidak bisa menanti sampai rumah sakit. Dia kini sudah berada dalam keadaan mati suri. Sudah empat perlima mati. Tindakan darurat harus diambil..”
“Kalau begitu biar saya mengeluarkan peluru itu…”ujar si Bungsu mendekat.
“Apakah anda dokter?”
“Ya…”
“Apakah anda punya sertifikat untuk Dallas?”
Si Bungsu tidak peduli. Dia mendekati temannya yang terbaring itu. Dari balik lengan nya dia ambil dua buah samurai kecil. Dua dokter di ambulan itu termasuk dua perawat wanita, ternganga. Si bungsu merobek baju didada Tongky. Kemudian setelah sejenak memejamkan mata, mengingat pelajaran tentang menghentikan peredaran darah yang dulu dia pelajari di Jepang, dia pelajari dari Zato ichi, lalu dia menekan beberapa tempat peredaran darah di leher dan dada Tongky.
Kemudian…Samurai kecil yang luar biasa tajamnya itu bekerja. Sebentar saja dada Tongky terbelah tanpa setetes pun meneteskan darah! Dokter dan perawat ternganga. Si Bungsu dengan hati-hati mencungkil dua peluru yang bertahan ditulang dekat jantung Tongky. Rongga dada temannya itu penuh darah. Dia menyerahkan dua peluru itu pada si Dokter.
“Kini tugas anda dokter…”katanya.
Dokter yang masih setengah ternganga itu mendekatkan kepalanya. Melongok ke rongga dada Tongky, kemudian menatap kedua peluru yang barusan di serahkan si Bungsu. Dia mengambil sejenis kapas dan mulai menegringkan darah di dada Tongky yang di sebabkan luka tembakan itu.
Kemudian menekan Jantung Tongky perlahan. Menekan dengan ibu jarinya, hati-hati sekali. Salah-salah jantung yang lunak itu bisa jebol!dan Tongky mulai bernapas! Air mata mengalir dimata si Bungsu. Temannya itu hidup!
“Jahit…”dan luka dijahit oleh dokter yang seorang lagi.
Ambulan itu sampai dirumah sakit dan mereka bergegas turun. Dan hampir berlarian, mereka menuju ruang operasi.
“Peluru di kepalanya harus di keluarkan. Mudah-mudahan tidak mengenai otak..”kata dokter pada si Bungsu sambil berlarian kecil mengikuti brankar yang di dorong cepat itu.
Di ruang operasi segalanya telah disiapkan. Dokter yang ahli yang lain sudah ada disana, dan operasi siap di mulai. Namun alat perekam seperti televisi yang ada disebelah kanan tiba-tiba hanya memperlihatkan garis lurus, sebentar ini masih memperlihatkan naik turun seperti grafik, kini..
“Pompa jantungnya..”
Dokter segera menekan jantungnya, tak ada hasilnya.
“Buka jahitannya…”
Dokter yang satunya segera membuka jahitan didada Tongky. Kemudian kembali menekan jantung dengan ibu jari. Sekali ,dua kali. Si Bungsu meenanti. menanti. Berdoa dan menanti….menanti dan berdoa. Lama sekali. Lama sekali!
“Dia sudah meninggal…”entah dari mana suara itu datangnya.
Barangkali diucapkan dokter yang sudah senior itu, perlahan semua membuka kain menutup mulut dan hidung mereka. Semua kegiatan seperti terhenti, alat deteksi jantung hanya memperlihatkan garis lurus di layar, dan televisi itu dimatikan. Wajah Tongky kelihatan tenang. Jantungnya hanya sempat bekerja sesaat setelah peluru dikeluarkan si Bungsu tadi.
“Peluru yang di kepalanya, yang menyebabkan kematiannya…”kata dokter itu lagi.
Si Bungsu melihat kepala Tongky. Bahagian samping keningnya kelihatan
berdarah. Peluru menghunjam disana. Dia termangu.
“Anda kerabatnya…?”ada suara bertanya, si Bungsu mengangguk.
“Harap anda tanda tangani sertifikat kematian ini…”
si Bungsu menandatanganinya.
Dia tak tahu berapa waktu telah berlalu, seorang dokter wanita mendekatinya di ruang tungggu.



@



Tikam Samurai - 430