Dan saya mendengarkan apa yang terjadi antara puterinya Michiko-san dengan Bungsu-san. Saya mengetahui semuanya. Itulah kenapa saya datang ke hotel Bungsu-san…”
“Kalau begitu….yang menyuruh Ichi-san membunuh saya pastilah…pastilah puterinya, Michiko!”
Zato Ichi menggeleng beberapa kali.
“Tidak Bungsu-san. Gadis itu sangat mencintai dirimu. Dia melukai dirimu padi itu di Shimogamo hanya karena pukulan bathin yang dahsyat. Kini dia sakit. Yang menyuruhku untuk membunuhmu adalah adik Saburo. Doku Matsuyama. Dia seorang oegawai pemerintah di kota Kyoto….”
Dan mereka sama-sama terdiam. Angin bersuit perlahan. Bagi si Bungsu, ini adalah sesuatu yang teramat dahsyat. Bagaimana dia bisa mempercayai bahwa orang yang akan membunuhnya adalah orang yang menyelamatkan nyawanya?
“Kalau begitu….kenapa Ichi-san menolong saya dari kematian di hotel itu? Bukankah hari itu saya harusnya sudah mati dan Ichi-san tak usah susah-susah turun tangan sendiri…?”
Zato Ichi menarik nafas lega.
“Itulah malangnya Bungsu-san. Saya paling tak bisa melihat ketidakadilan terjadi. Kelaurgamu dibunuhnya semua. Dan saya juga akhirnya tahu, bahwa Saburo-san bukan engkau yang membunuhnya. Meskipun engkau sanggup melakukan itu padanya. Saya tahu, Saburo-san harakiri. Dan sebelumnya dia telah meminta kepada para pendeta di kuil itu untuk tidak memperpanjang soal ini.
Sebenarnya soal itu sudah selesai sampai disana. Tapi, adik Saburo meminta saya untuk melakukan pembalasan padamu. Engkau barangkali akan bertanya, kenapa aku harus mematuhi permintaan adiknya, padahal saya tidak berhutang apa-apa pada adiknya bukan?
Seharusnya demikian. Tapi adiknya ternyata ikut membantu saya. Meskipun secara tidak langsung. Doku Matsuyamalah yang setiap hari membawa obat dan makanan bagi saya di kebun persembunyian itu.
Karenanya, saya ikut berhutang budi padanya. Dan kini dia meminta saya untuk membayar hutang budi itu…”
Si Bungsu duduk terdiam. Zato Ichi juga. Dia tatap lelaki itu. Tokoh legenda yang dicintai rakyat Jepang itu. Kelihatan tua dan lelah. Alangkah kasihannya, pikir si Bungsu, sudah setua ini masih harus dibebani oleh hutang budi yang alangkah mahalnya.
Dia tiba-tiba membayangkan bahwa Zato Ichi itu adalah dirinya yang sudah tua. Bagaimana kalau dia mengalami hal yang dialami Zato Ichi saat ini?
“Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan Ichi-san…” akhirnya si Bungsu berkata perlahan.
Zato Ichi mengangkat kepala. Dia menoleh pada si Bungsu. meski matanya buta, tapi dia seperti menatap wajah anak muda itu tepat-tepat.
Dan tiba-tiba Zato Ichi berdiri. Berjalan ke arahnya. Dia menanti dengan tegang. Sedepat di depannya, lelaki buta perkasa itu berhenti.
Si Bungsu tak bisa menatap matanya. Kalau orang biasa dengan menatap matanya bisa menebak apa gerakan yang akan dia lakukan, maka terhadap Zato Ichi yang buta ini tak bisa dipakai teori demikian.
Si Bungsu justru menatap ke bahu lelaki itu. Dia akan perhatikan gerakannya melalui bahunya. Dan tiba-tiba Zato Ichi bergerak. Melangkah maju. Dan memegang bahu si Bungsu.
“Barangkali kita akan bertarung Bungsu-san. Bukan sebagai orang yang bermusuhan, tapi sebagai dua lelaki yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sebagai dua lelaki yang berjiwa samurai sejati. Tapi itu tidak sekarang. Kita perlu istirahat…”
Dan terompa kayunya terdengar berdetak-detak masuk kembali ke rumah kecil di halaman belakang kuil tua itu. Si Bungsu menarik nafas panjang.
Dia tahu, istirahat yang dimaksud oleh Zato Ichi itu adalah khusus untuk dirinya. Sebab dia baru saja sembuh sakit. Baru saja memeras tenaga melawan enam anggota Kumagaigumi tadi.
Jadi, dialah yang dimaksudkan istirahat tadi. Zato Ichi ingin memberi kesempatan padanya untuk memulihkan kesehatan. Baru nanti menantangnya berkelahi.
Si Bungsu jadi terharu. Lelaki itu benar-benar seorang satria sejati. Dia patut menjadi pujaan seluruh rakyat Jepang.
Dia menatap keliling. Melihat enam samurai yang berserakan malang melintang. Yang tadi dia pukul terpental dari tangan anggota Kumagaigumi itu.
Kemudian dia melangkah masuk ke rumah kecil itu mengikuti langkah Zato Ichi. Di dalam dia disambut oleh bau panggang ikan yang harum.
“Hm, Bungsu-san, mari makan. Ini saya punya ikan kering, dan sudah saya bakar…ini ada sedikit roti…”
Si Bungsu tegak di pintu. Menatap betapa lelaki buta itu mengulurkan ikan bakar padanya.
@
Tikam Samurai - II