Tikam Samurai - 107

Si Bungsu membuka mata. Silau sekali. Tapi selain silau yang amat sangat, yang paling dia rasakan adalah lapar yang menusuk-nusuk perut. Lapar sekali. Dia Kembali membuka mata. Sedikit demi sedikit. Dari balik bulu-bulu matanya dia mencoba melihat dan membiasakan dengan sinar terang.
Dia tak tahu dimana dia. Tak tahu apa yang terjadi. Rasanya kini dia tengah berbaring. Tapi dimana? Berbaring? Kenapa bisa berbaring? Dia coba merekat kembali sisa-sisa ingatannya. Yaitu tentang situasi terakhir yang pernah dia alami.
Terowongan
Rantai di kaki
Rantai di tangan
Rantai yang dicorkan dengan semen
Dicor ke lantai
Dicor ke langit-langit terowongan
Penyiksaan!
Ah, bukankah dia disiksa oleh tiga orang serdadu Jepang yang sadisnya melebihi hewan?
Kari Basa!
Tiba-tiba dia ingat pada orang tua itu. Bukankah orang tua itu terbelenggu pula empat depa di depannya dalam terowongan itu?
Dimana dia kini?
Ingatan pada orang tua itu membuat dia membuka matanya lebar-lebar. Menoleh ke kiri. Tak ada. Menoleh kekanan. Tak ada!
“Pak Kari…..!” dia memanggil perlahan.
Tak ada sahutan. Di luar ada suara ayam betina berkotek. Dia memperhatikan tempatnya. Benar, dia memang tengah berbaring di tempat tidur. Tempat tidur berkelambu. Berseprai kain setirimin merah jambu. Berkelambu juga dengan kain seterimin merah jambu. Seperti tempat tidur penganten baru.
Bau harum kembang melati merembes kehidungnya dengan lembut. Benarkah dia masih hidup? Atau ini hanya sebuah mimpi?
Mimpi dari sebuah siksa yyang tak tertangguhkan ditangan ketiga Kempetai sadis itu?
Ya, dia ingat lagi kini.
Tubuhnya dijadikan tempat pelampiasan kekejaman ketiga serdadu itu. Lalu suara tembakkan. Apakah tembakkan itu bukan untuk dirinya? Kalau dia kini masih hidup, pastilah tembakkan itu ditujukan pada Kari Basa. Kari Basa meninggal! Ya Tuhan.
“Pak Kari….” Dia memanggil lagi dan berusaha untuk duduk.
“Tetaplah berbaring..!” tiba-tiba suara mencegahnya. Lembut sekali. Rasa sakit dikepalanya karena berusaha bangkit itu lenyap ketika mendengar suara lembut itu.
“Mana Pak Kari?” tanya nya pada orang yang masih belum kelihatan wajahnya itu.
“Pak Kari..?” suara itu menjawab.
“Ya pak Kari, dimana dia dikuburkan?”
Tak ada jawaban. Tapi orang yang menjawab ucapannya itu kini kelihatan. Seorang gadis! Berwajah bundar. Bermata hitam. Berkulit kuning. Berambut hitam dengan mata yang bersinar lembut. Cantik adalah kata-kata yang tepat untuknya.
Si Bungsu mengerutkan kening. Siapakah gadis ini?
“Dimana saya…?’ tanyanya gugup.
Gadis itu tersenyum. Senyumnya amat teduh. Matanya yang bersinar lembut menatap si Bungsu dengan tatapan gemerlap.
“Uda berada disini…” jawabnya dengan masih tersenyum.
“Di sini? Di sini dimana…?’
“Di rumah kamii….”
“Siapa kalian….maaf, saya maksudkan, saya rasa saya tak mengenal rumah ini. Juga orangnya. Kenapa saya bisa berada di sini. Sejak bila dan…”
Gadis itu lagi-lagi tersenyum mendengar pertanyaan yang tak hentinya itu. Dia tak segera menjawab pertanyaan si Bungsu. Melainkan berjalan ke arah kepala pembaringan. Mengambil sebuah gelas. Kemudian duduk dekat si Bungsu.
“Minumlah. Ini obat dari akar kayu. Nanti saya jawab pertanyaan abang itu satu persatu…”
Dia ingin bangkit. Tapi uluran tangan gadis itu untuk membantunya duduk tak bisa dia elakkan. Gadis itu membantunya meminum obat yang terasa pahit. Kemudia membantunya berbaring lagi dengan perlahan.
Dalam keadaan demikian, wajah gadis itu berada dekat sekali dengan wajahnya. Gadis itu bersemu merah mukanya. Mukanya sendiri juga terasa panas. Kemudia gadis itu mengambil sebuah kursi di tepi dinding. Duduk dekat pembaringan.
“Ini rumah pak Kari…” gadis itu mulai bicara. Si Bungsu tertegun.
“Rumah pak Kari?’
“Ya”
“Pak Kari Basa?”



@



Tikam Samurai - 107