Malam itu dia justru bertugas disalah satu markas Kempetai bersama enam orang tentara Jepang asli lainnya. Dan keenam tentara Jepang yang sama-sama bertugas malam itu dengannya menerangkan bahwa Tai-I itu tak pernah meninggalkan markas malam itu.
Lalu bagaimana Dakhlan Djambek sampai bisa hadir dan justru membunuh sersan itu dihadapan para pejuang malam itu? Ceritanya sangat sederhana. Peristiwa dia membunuh sersan itu dengan samurai hanya berjarak sejangkau tangan dari markas Kempetai itu. Tepatnya, rumah tempat si sersan dibunuh terletak persis di belakang markas Kempetai itu. Dan antara markas dengan rumah itu hanya dibatasi dengan sebuah pagar batu setinggi pinggang.
Rumah itu sebuah rumah batu yang sudah lam ditinggal penghuninya. Pemiliknyu merantau ke Jawa. Tapi kuncinya ada pada seorang adiknya di Mandiangin. Nah rumah inilah yang dipilih Dakhlan Djambek untuk menanyai sersan.
Keputusan itu memang berbahaya. Tapi tak ada jalan lain, justru jalan itu pulan paling aman. Kempetai pasti takkan pernah mencurigai kalau rumah di belakang markas mereka itu justru dipergunakan oleh pihak pejuang. Disamping tak mencurigai, Dakhlan Djambek bisa hadir disana tanpa menimbulkan kecurigaan.
Tinggal kini waktu diperhitungan dengan cermat. Harus pas waktunya antara dibekuknya si sersan di hotel dengan tibanya di di rumah tersebut. Setelah si sersan dibekuk lalu dibawa ke rumah itu dengan truk. Dakhlan Djambek yang tegak di depan melihat mereka lewat.
Dia masih tegak di depan beberapa saat. Lalu masuk ke markas. Memrintahkan pada tiga orang Gyugun asal Indonesia untuk mengadakan patroli sekeliling markas. Ketiga Gyugun itu keluar setelah memberi hormat. Kemudian Dakhlan Djambek duduk di depan Komandan Piket malam itu. Yaitu seorang Jepang berpangkat Mayor.
Tiba-tiba dia bangkit.
“Sakit perut….” Katanya menyeringai.
“Ha…banyak makan duren sore tadi. Bisa mencret Tai-i…” Si Mayor berkata sambil tertawa.
Dakhlan Djambek juga ikut tertawa. Empat orang Kempetai yang ada dalam ruangan itu juga tertawa. Srebab mereka giliran piket setiap 24 jam. Dan mereka telah mulai piket sejak tadi pagi. Dan sore tadi ada yang mentraktir makan durian. Mereka membeli durian lima belas buah. Lalu mereka makan bersama di kantin disebelah kantor.
Dakhlan Djambek dengan memegang perut lalu berlari ke belakang. Menutup pintu kakus. Menguncinya. Dan kakus ini juga sudah dia perhitungkan. Kakus ini mempunyai jendela besar di belakangnya.
Sekali hayun dia sudah membuka jendela. Kemudian terjun ke belakang. Berlari empat langkah, tiba di pagar. Meloncati pagar itu. Duduk dibaliknya. Dia bersiul menirukan bunyi burung malam. Erdengar sahutan. Dia bergegas tegak dan melangkah memasuki rumah itu dari belakang.
Tiga orang Gyugun yang tadi dia perintahkan untuk patroli menantinya di pintu. Dan mereka masuk. Kisah bagaimana si sersan mati, sudah diuraikan terdahulu. Dakhlan Djambek memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya dia bisa saja membunuih sersan itu tanpa perlawanan. Tapi sebagai seorang pejuang, seperti umumnya pejuang-pejuang Indonesia, dia tak mau membunuh lawan yang tak berdaya. Apalagi dia seorang perwira.
Makanya dia memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya bisa saja keadaan berbalik jadi berbahaya. Yaitu kalau si sersan justru yang menang dalam perkelahian itu. Mungkin si sersan bisa juga dibunuh oleh pejuang-pejuang yang ada dalam ruangan itu. Namun kalau sudah jatuh korban, apalagi korban itu seorang Dakhlan Djambek, perwira Gyugun yang diandalkan untuk memimpin anggotanya kelak dalam revolusi, bukankah akan sia-sia jadinya?
Namun Dakhlan Djambek tetap pada sikap satrianya. Disamping juga dia punya keyakinan pada dirinya, dan terutama pada Tuhannya. Setelah sersan itu mati, jejak perkelahian di ruangan belakang rumah itu dilenyapkan. Dan Dakhlan Djambek kembali melompati jendela kakus. Kemudian pura-pura batuk dalam kakus. Pura-pura menyiramkan air. Lalu keluar dari kakus setelah yakin jejaknya tak ada di dinding. Dengan pura-pura melekatkan celana dan merapikan baju, dia membuka pintu.
Masuk kembali keruangan dimana si Mayor tengah mendengarkan siaran radio yang dipancarkan oleh Markas Besar tentara Jepang. Dengan menarik nafas lega, dia duduk. Seperti orang yang baru saja lepas dari siksaan.
“Hmmm, keluar semua?” Mayor itu bertanya sambil tersenyum.
“Tidak. Ususku masih tinggal di dalam……….’” Jawab Dakhlan Djambek. Mayor itu dan keempat Kempetai tertawa terkekeh. Waktu yang terpakai baginya untuk “buang air” itu tidak lebih dari sepuluh menit. Benar-benar perhitungan seorang militer yang teliti.
Dan ketika interogasi, seluruh prajurit dan sang Mayor yang piket malam itu jadi saksi, bahwa dia tidak pernah keluar sesaatpun pada malam lenyapnya si sersan. Dan Kempetai tak pula pernah menyelidiki rumah kosong yang telah lama tak dihuni yang terletak persis dibelakang markas mereka. Kekhilafan-kekhilafan kecil begini biasanya memang terjadi satu dalam seribu peristiwa penting dipihak kemiliteran.
Dan kekhilafan kecil itulah yang menyelamatkan Dakhlan Djambek serta para Gyugun yang tugas di Bukittinggi malam itu dari pembantaian Kempetai.
@
I. Tikam Samurai