“Ya, pak Kari Basa”
“Yang tertangkap dan disiksa dalam terowongan Jepang itu?’
“Ya. Yang disiksa bersama abang juga bukan?”
“Mana beliau…?”
“Di kamar sebelah…”
“Masih hidup?”
“Insya Allah sampai saat ini masih…”
“Alhamdulillah…”
“Saya adalah anaknya..”
Si Bungsu hampir terduduk. Tapi gadis itu menggeleng dengan senyum lembut dibibirnya.
“Kenapa harus kaget…tetaplah berbaring…”
“sejak kapan saya berada di rumah ini?”
“Sejak sebulan yang lalu” Si Bungsu kali ini benar-benar tertunduk. Matanya berkunang-kunang.
Namun dia tatap gadis di depannya itu. Gadis itu menunduk. Malu, Mukanya merah.
“Sebulan?”
“Ya. Sudah sebulan Uda di rumah ini…”
“Dan selama itu saya tak pernah sadar?” Gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap si Bungsu. Lalu menggeleng. Si Bungsu menjilat bibirnya yang terasa kering.
“Pernah. Tapi barangkali Uda tak pernah bisa berfikir dengan baik. Sebab ketika mula pertama dibawa kemari, tubuh abang seperti baru keluar dari rumah jagal. Tersayat-sayat berlumur darah… saya tak tahu bahwa ayah juga sama keadaan dengan abang. Hanya ayah dibawa ketempat lain untuk dirawat. Ayah baru dibawa kemari sejak lima belas hari yang lalu….”
Si Bungsu kembali berbaring. Sudah sebulan di rumah ini. Pakaiannya bersih. Siap yang memakaikan pakaiannya? Selama itu dia pasti buang air. Nah, kalau dia tak sadar, siapa yang membereskan semua ini?
“Ada adik lelakiu saya menukarkan pakaian abang sekali tiga hari. Saya hanya menyuapkan bubur untuk abang…” suara gadis itu seperti menjawab kata hatinya. Dia melihat padanya. Dan gadis itu lagi-lagi menunduk.
“Terimakasih atas kebaikan kalian….” Katanya perlahan.
“Uda akan makan?”
Si Bungsu tak segara menjawab. Dia merasakan perutnya kenyang. Aneh, tadi mula-mula sadar laparnya serasa tak tertahankan. Tapi kini perutnya terasa kenyang. Apakah itu karena obat yang barusan dia minum.
“Tidak, saya kenyang….” Jawabnya.
“Tapi sejak kemaren Uda belum makan…”
“Terimakasih. Sebentar lagilah….apakah Jepang tak pernah memeriksa rumah ini untuk mencari saya? Oh ya, siapa yang membawa saya kemari?”
“ Yang membawa Uda kemari adalah pejuang-pejuang teman ayah, teman Datuk Penghulu. Dan teman abang juga bukan?”
Si Bungsu menggelang.
“Saya tak punya teman di kota ini Upik. Oh maaf, saya harus memanggilmu dengan sebutan apa?”
Gadis itu menunduk. Si Bungsu menatapnya.
“Nama saya Salma….” Katanya perlahan.
“Salma?”
“Ya, Salma..”
“Terimakasih atas bantuanmu pada saya selama di rumah ini…nah, apakah Jepang tak pernah menggeledah di rumah ini?”
“Tidak, adik ayah bekerja dibahagian penerangan pemerintahan Jepang. Rumah ini rumah tua kami. Sebelumnya saya, ayah dan yang lain-lain tak tinggal di sini…… Rumah kami di Mandiangin. Tapi sejak malam itu, kami disuruh pindah kemari. Dan Jepang tak pernah mencurigai rumah ini, karena abang ditempatkan dibilik ini. Dibilik saya…”
“Bilikmu?”
“Ya. Ini bilik saya. Dan Jepang itu sering main kartu disini. Kamar tamu disebelah kamar ini. Dan mereka tentu saja tak pernah menduga dalam bilik ini ada abang sebab selama mereka di ruang tamu, saya selalu dikamar ini. Dan saya… saya juga tidur dikamar ini…”
Si Bungsu terbelalak. Gadis itu menunduk, mukanya merah. Malu dia.
“Ya. Saya tidur disini. Di bawah dengan sebuah kasur cadangan, ayah yang menyuruh. Untungnya setiap mereka kemari Uda tak pernah mengigau. Dan ayah dibawa kemari dua hari setelah proklamasi kemerdekaan….”
Si Bungsu terlonjak duduk…
“Proklamasi kemerdekaan…?!”
“Ya. Oh ya. Saya lupa bahwa abang tak mengetahui hal ini. Kita telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus. Dan sekarang sudah tanggal dua puluh lima…”
@
I. Tikam Samurai