Tikam Samurai - 111

Pikiran si Bungsu segera merekam kembali saat penangkapannya di Koto Baru. Betapa Mayor itu memerintahkan mereka untuk keluar dari rumah Tabib tempat dia berobat.
Kemudian ketika dia keluar bersama Kari Basa, Mayor itu menyuruh melemparkan samurainya ketanah. Ketika samurainya telah dia lemparkan, dan telah dipungut oleh seorang Kempetai. Mayor itu maju. Kemudian dengan tusukan jari-jari tangannya dia menghantam luka dibahunya. Dua kali. Dan dia jatuh ketanah dalam sakit yang tak terkira. Dan saat itu dia lihat Datuk Penghulu melayang. Menendang Mayor itu… dan Datuk Penghulu mati dicabik samurai Mayor tersebut. Dia iangat lagi semuanya itu. Ingat benar.
Kiranya Mayor itu masih hidup.
“Hei, kami ada oleh-oleh untukmu….” Kari Basa tiba-tiba ingat sesuatu.
“Salma, bawa kemari yang ayah suruh simpan kemarin….” Kari Basa berseru tanpa memberi kesempatan pada si Bungsu untuk bicara. Tak lama kemudian anak gadis Kari Basa itu muncul dengan sebuah kayu ditangannya. Si Bungsu segera saja tertegak melihat oleh-oleh yang berada di tangan gadis itu.
“Samurai….” Katanya begitu dia mengenali benda itu sebagai samurai miliknya.
“Ya. Itu samurai milikmu…” kata Kari Basa.
“Ya. Ini milikku, dimana bapat dapat?”
“Bukan saya yang mendapatkannya. Dua malam yang lalu ada pejuang yang mencoba memasuki rumah Akiyama. Maksudnya ingin membunuhnya. Sebab sudah banyak kekejaman yang dilakukan Akiyama di negeri ini. Namu Akiyama tak dirumah. Yang ditemuinya hanya seorang Kopral. Kopral itu dibunuh. Dan di dinding, dia meliaht samurai ini. Dia segera mengenalinya sebagai samuari milikkmu. Karena dia ikut dalam penjagaan rapat di Birugo yang digerebek Jepang itu. Dia melihat engkau yang memakai samurai ini. Dia ambil, dan dia berikan kepada kami…”
“Ah, terima kasih. Terima kasih…” si Bungsu menerima dan mencabut samurainya. Melihat matanya. Menjamahnya dengan ibu jari. Kemudian tanpa dia sadari matanya terpejam. Dan tiba-tiba tangannya berkelabat. Amat cepat, dan samurai itu masuk kembali kesarangnya. Dan di meja, seekor lalat mati dengan tubuh terbelah dua.
Kari Basa menatap pada anaknya. Salma tegak terpaku melihat kecepatan anak muda itu.
“Ah…sudah lama sekali rasanya tak mempergunakan samurai. Saya harus berlatih lagi dari awal. Sudah kaku sekali,,,,” dia berkata sambil menimbang-nimbang samurainya.
“Lambat? Lihatlah, engkau berhasil membelah seekor lalat yang sedang terbang. Persis belah dua…” Kari Basa menunjuk pada lalat yang terhantar di meja itu.
Si Bungsu tersenyum tipis.
“Hanya seekor… Bapak tahu berapa ekor yang ingin saya bunuh tadi? Ada empat ekor mereka terbang. Dan ternyata hanya seekor yang kena. Dahulu keempatnya pasti mati. Tapi kini, lihatlah, saya sudah terlalu lambat….” Dia berkata.
Kari Basa menggeleng-geleng. Takjub. Kagum.
Dan siang itu si Bungsu memang mulai berlatih mempergunakan samurainya. Dia berlatih dihalaman belakang. Mula-mula dia berlatih mencabut samurai itu. Sekali-dua, tiga kali, empat kali, sebelas….tiga puluh, delapan puluh, seratus dua puluh. Dan peluh membasahi tubuhnya.
Tangan kananya yang mencabut samuari itu rasa kesemutan. Sebab kecepatannya mencabut samurai sudah agak lumayan. Dia sadar sepenuhnya, dalam pertarungan dengan samurai kecepatan mencabut samurai sangat menentukan. Apalagi kalau perkelahian dilakukan dalam jarak sejangkauan tangan.
Dan perkelahian antara pesilat-pesilat yang tangguh dan perkelahian satria, memang dilakukan dalam jarak jangkau samurai.
Namun tak kalah pentingnya dari kecepatan adalah faktor kecepatan. Cepat dala mencabut samurai, dan tepat dalam tekhnik menyerang. Itulah yang sempurna. Kecepatan saja tanpa ketepatan serangan, percuma saja. Setelah samurai dicabut, lalu diapakan? Maka ketepatan yang menentukan.
“Makanlah, nasi telah saya letakkan…” tiba-tiba dia mendengar suara Salma. Dia mengambil handuk kecil di jemuran. Kemudian melangkah ke bawah pohon jambu perawas.
“Apakah bapak sudah kembali?” tanyanya.
“Tidak. Bapak sudah berpesan, bahwa dia akan ke Tigo Baleh. Ada urusan di sana. Dan mungkin sampai malam nanti dia tak kembali…”
Si Bungsu segera ingat bahwa malam nanti akan ada rapat di “tempat biasa” seperti yang dikatakan kurir tadi pagi.
Dia menatap pada Salma. Sebuah rencana muncul dikepalanya. Sebuah rencana lagi. Tapi harus dia laksanakan. Yaitu sebelum dia pergi meninggalkan negeri ini menuju Jepang. Namun sebelum rencana itu dilaksanakan, dia harus latihan dulu dengan baik.
“Salma, mau membantu saya ?”
Salma menatapnya. Kemudian tersenyum. Dan turun kehalaman belakang.
“Apa yang dapat saya perbuat ?”
“Tunggu sebentar…” dan si Bungsu memanjat batang jambu perawas didekatnya. Mengambil putiknya. Ketika dia tengah memetik putik buah perawas itu dia teringat belum minta izin. Dia menoleh lagi pada Salma.



@



Tikam Samurai - 111