“Boleh kuambil putiknya ini bukan ?” tanyanya. Salma hanya tersenyum.
“Boleh ndak?” tanyanya ragu melihat senyum gadis itu. Dia ragu dan berdebar melihat senyum Salma yang memikat. Masih tetap tersenyum, gadis itu menjawab:
“Ambillah. Abang tinggal memilih mana yang abang suka untuk memetiknya…” si Bungsu merasa disindir. Tapi dia memetik terus.
“Tolong tampung di bawah…” katanya. Salam mengambil sebuah panci. Kemudian menampung putik-putik perawas itu. Umunya yang dipetik si Bungsu adalah yang sebesar ibu jari. Cukup lama dia memetik. Ketika sudah terkumpul sekitar seratus buah, dia baru turun. Salma jadi heran, untuk apa putik perawas sebanyak ini oleh anak muda itu? Tapi keherannya dia simpan saja dihati.
“Nah, kini tetaplah tegak di sini, ambil dua buah kemudian lemparkan kearahku kuat-kuat. Mengerti…?”
Salma mengangguk. Kini dia mengerti bahwa putik jambu itu akan dipergunakan sebagai alat untuk latihan. Si Bungsu mengambil jarak sepuluh depa di depan Salma. Kemudian memandang pada gadis itu. Samurainya dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung lemas disisi tubuh. Dia memusatkan konsentrasi. Menatap diam-diam pada Salma. Salma jadi gugup ditatap begitu. Kemudian menunduk.
“Hei, jangan menunduk!” si Bungsu berseru. Salma jadi merah mukanya.
“Habis abang tatap begitu terus-terusan. Saya jadi gugup…” katanya tersipu-sipu. Dan tiba-tiba si Bungsu pula yang jadi jengah. Namun dia kuat-kuatkan hatinya. Dengan muka yang juga bersemu merah, dia kembali menatap Salma. Gadis itu juga menatapnya.
“Nah…siaplah. Engkau boleh melemparkan dua buah putik jambu itu bila saja engkau sukai. Dan jangan berhenti. Lemparkan terus sekali dua buah. Mengerti ?”
Salma mengangguk. Dia ingin membantu anak muda ini. Membantu mengembalikan semangat dan kepercayaan terhadap dirinya.
Dialah yang paling mengetahui, betapa anak muda ini kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sejak disiksa dalam terowongan itu. Dia mengetahui hal itu ketika merawatnya dibiliknya lebih dari sebulan. Dia mendengar betapa anak muda ini merintih. Memekik. Mengeluh dan bahkan menggigil melihat jari-jari tangan kirinya yang dipatahkan Jepang.
Dan ketika telah sembuh, dia melihat betapa setiap kali anak muda itu merenung. Menatap pada tangannya. Mengepal-ngepalkan tangannya itu. Kemudian menggerak-gerakkannya. Kini nampaknya dia ingin berlatih. Dan Salma berniat membantunya sekuat tenaga.
“Awas…!” gadis itu berteriak tiba-tiba sambil melemparkan dua buah putik perawas. Lemparannya cukup cepat dan kuat. Si Bungsu terkejut, dan tangannya menggapai kehulu samurai. Tapi kedua putik perawas itu telah mengenai tubuhnya sementara samurainya belum keluar sedikitpun!
Salma jadi kaget. Kenapa terlalu lamban anak muda itu?
“Uda, kenapa?” tanyanya sambil mendekat pada si Bungsu. Si Bungsu menggelan. Salma tegak disisinya.
“Kenapa. Tanganmu sakit lagi…?” tanyanya sambil memegang tangan si Bungsu. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas. Panjang, kemudian menatap pada Salma.
“Ya. Tidak hanya tangan, tapi tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.
“Kenapa…?” bisiknya.
“Karena matamu..” jawab si Bungsu. Salma membelalak. “ Ya. Saya seperti lumpuh engkau tatap begitu Salma”.
Dan tiba-tiba gadis itu menunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dan si Bungsu terkejut, ketika dilihatnya pipi gadis itu basah.
“Salma..? saya menyakitimu…?’ Salma masih menggaris-garis tanah dengan ibu jari kakinya. Kemudian menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya perlahan. Dia sebenarnya bahagia. Tapi sekaligus juga sedih. Bukankah dalam mimpinya, dalam igaunya ketika sakit, dia dengar si Bungsu puluhan kali menyebut nama Mei-Mei?
“Mempermainkan…? Sungguh mati, saya jadi gugup seperti lumpuh kau tatap seperti itu…. Tapi maafkan kalau ucapan saya itu menyinggung perasaanmu…”
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Betapapun dia harus membantu anak muda itu mengembalikan kepercayaan dirinya.
“Tidak marah…? Tanya si Bungsu. Salma menggeleng. Salma tersenyum. Si Bungsu menarik nafas. Si Bungsu balas tersenyum. Kemudian Salma kembali ketempatnya, kesisi baskom yang berisi putik jambu di atas meja kecil di bawah batang perawas.
“Kita mulai lagi…?” tanyanya.
“Ya, tapi jangan kau sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak…” jawab si Bungsu bergurau. Salma tertawa kecil. Tangannya mengambil dua buah putik perawas disampinya. Kemudian tegak lurus.
“Siap..?” tanyanya.
@
I. Tikam Samurai