Nah, saat akan rubuh itulah dia sempat membabat perut Datuk Penghulu Dan babatannya sebagai seorang samurai andalan, berhasil membelah perut Datuk Penghulu serta memutus ususnya. Datuk itu masih bisa bertahan tetap tegak semata-mata karena ketangguhan dan kekerasan hatinya saja. saat si Bungsu jatuh pingsan, mata Datuk itu terpejam. Di sudut matanya kelihatan manik-manik air merembes perlahan. Lalu kepalanya terkulai bersama tubuhnya.
Tergeletak mencium bumi. Nyawanya dijemput Yang Khalik sebelum tubuhnya sempurna terguling di bumi Semua tentara Jepang yang tegak mengelilingi orang tua itu pada tertegun.
Diam-diam mereka mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang berpangkat mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh balatentara Jepang.
Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya sama-sama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka pada posisi yang saling berhadapan.
Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia rasakan adalah rasa sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya terasa menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih menyerang dirinya. Dia tak kuasa menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia perbuat kini hanyalah membuka kelopak matanya.
Terasa berat. Tapi dia paksakan juga. Penglihatannya berputar. Merah, hitam, kuning, hijau. Warna-warni tak menentu bermain dan berpusing di hadapannya. Dia pejamkan matanya kembali. Dengan pendengarannya yang amat terlatih dia mencoba menangkap suara. Tapi tak terdengar apapun, kini lambat-lambat kembali dia buka matanya. Dan menarik nafas. Menatap ruangan di mana dia kini berada.
“Pak Datuk ….” Himbaunya tatkala melihat sesosok tubuh terikat empat depa di depannya. Tak ada jawaban.
“Pak Datuk . . .” Himbaunya lagi dengan suara pecah.
Lambat-lambat sosok tubuh itu mengangkat kepala. Bukan, dia bukan Datuk Penghulu. Si Bungsu segera mengenalinya sebagai salah satu seorang pimpinan rapat di Birugo dahulu. Dia memang tidak mengenal siapa namanya, tapi dia kenal betul lelaki itu. Saat dalam rapat itu dahulu lelaki ini hanya berdiam diri.
“Datuk Penghulu telah meninggal, Bungsu ….” ujar lelaki itu mulai bicara.
“Meninggal …..?” Ujar si Bungsu. Tapi suaranya hilang di tenggorokan.
“Ya, dia meninggal ketika mula pertama kalian ditangkap di Kota Baru. . . .”
“Meninggal? Datuk Penghulu meninggal?” Bungsu masih berkata sendiri. Sepertinya tak percaya dia akan apa yang dia dengar.
“Mustahil, mustahil Datuk Penghulu meninggaL Bukankah dia melihat lelaki itu tegak dengan perkasanya setelah menghantam Syo Sha itu dengan sebuah tendangan?”
“Tak ada yang mustahil bagi takdir Tuhan anak muda. Datuk Penghulu memang telah meninggal. Banyak jasanya bagi persiapan perjuangan yang akan datang. Tapi selain teman-teman dekat, tak ada orang lain yang mengenali perjuangannya. orang hanya mengenal dia sebagai kusir bendi. Tak lebih. Dan kami, telah kehilangan seorang pejuang, seorang teman, seorang mata-mata yang tangguh. Seorang guru silat yang berilmu tinggi. Hanya ada seorang muridnya yang menerima warisan ilmunya. Seorang gadis cina bernama Mei-mei. Tapi saya dengar gadis itu sudah meninggal pula beberapa waktu yang lalu. Kini, ilmunya itu dia bawa mati. . . .”
Lelaki itu terdiam. Si Bungsu menatapnya. Nampaknya lelaki ini cukup banyak mengetahui tentang Datuk Penghulu. Meski ada juga yang tak dia ketahui, misalnya tentang diri Mei-mei yang sebenarnya adalah tunangannya.
“Saya melihat Bapak dalam rapat di Birugo dahulu. Siapakah bapak?”
“Nama saya Kari Basa . . .” Ucapan lelaki itu terhenti tatkala pintu terdengar berderit.
“Nah, sejak saat ini, kita saling tak mengenal.”
Lelaki itu masih sempat berkata perlahan sebelum pintu diujung terbuka. Dan kepala lak-laki itui terkulai lagi, pura-pura pingsan. Si Bungsu buat pertama kalinya menyadari, bahwa dirinya terikat kuat. Tangannya digantung ke atas. Kakinya diikat ke lantai. Buat pertama kalinya pula dia menyadari, dia kini berada di dalam sebuah gua. Dalam gua.
Tadi dia tak menyadari hal itu karena terpukau akan berita kematian Datuk Penghulu. Dan kini dalam guha itu telah tegak tiga orang Kempetai. Gua itu diterangi oleh lampu listrik. Si Bungsu bisa menebak. bahwa dia berada di salah satu terowongan yang digali Jepang di bawah kota Bukittinggi.
Dia sudah banyak mendengar cerita tentang gua di kota itu. cerita dari bisik ke bisik. Sebab tak ada cerita yang pasti tentang penggalian terowongan itu. Para lelaki yang menggali adalah romusha yang diambil dari Tentara Sekutu yang ditawan setelah dilucuti, ditambah dengan ribuan lelaki bangsa Indonesia dari segala penjuru tanah air. Termasuk di dalamnya puluhan laki-laki dari kota Bukittinggi dan daerah-daerah lainnya di Minangkabau.
@
I. Tikam Samurai