Si Bungsu melakukan perintah Mayor itu. Dan melemparkan samurainya ke tanah. Kemudian samurai itu dipungut oleh seorang sersan. Mayor yang pernah mereka rendam di dalam tebat di Birugo beberapa hari yang lalu itu melangkah mendekat, begitu dia lihat samurai si Bungsu sudah dipungut anak buahnya.
Mayor ini merasa malu bukan main sejak peristiwa berendam dalam tebat tersebut. Marah serta dendam itu kini dia muntahkan. Dia tegak setengah depa di depan si Bungsu. Menatap anak muda itu dengan pandangan seperti akan melulurnya mentah-mentah. Tiba-tiba tangannya bergerak. cepat sekali. Demikian cepatnya, sehingga Datuk penghulu sendiri tak melihat bagaimana cara mayor itu menggerakkan tangannya. Si Bungsu terdengar memekik.
Tangan mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap saja si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri si Bungsu. Tusukan jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat.
Kembali menusuk luka bekas tebasan samurai Syo-i Atto itu seperti pisau menusuk daging. Pada tusukan keempat jari pertama, kain yang membalut luka sementara dibahu si Bungsu jebol, amblas ke dalam luka tersebut. Pada hantaman ke dua, keempat jari tangan mayor tersebut masuk hampir sepertiganya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu. Dilakukan oleh seorang ahli karate yang telah memiliki tingkatan Dan IV. Yaitu tingkatan keempat bagi pemegang sabuk hitam. Mendengar pekik yang menahan sakit luar biasa dari mulut si Bungsu, itu Datuk Penghulu yang tegak empat depa di belakangnya tersentak.
Anak muda itu rubuh ke tanah. Saat itulah, dengan melupakan setiap mara bahaya, semata-mata karena kasihan dan sayangnya pada si Bungsu, Datuk Penghulu tiba-tiba menghambur. Tubuhnya melayang di udara. Dan sebelum Kempetai-Kempetai itu sadar apa yang terjadi, tendangannya mendarat di kepala Syo Sha tersebut. Mayor itu terpelanting dua depa. Jatuh berguling di tanah, seorang prajurit mengangkat bedil.
Namun Datuk yang sudah kalap itu bergulingan di Ketika dia berdiri, tendangannya menghantam kerampang prajurit yang tengah membidik senapan itu meledak, tapi alat-alat di kerampangnya juga meledak kena tendang. Peluru itu senapannya menghantam tanah. Masih dalam kecepatan yang hanya dimiliki oleh pesilat-pesilat tangguh, pada langkah keempat setelah menyepak kerampang si prajurit, dia sampai kedekat Mayor yang kini sudah akan bangkit.
Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya sudah keluar separoh. Tapi saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula samurainya berkelebat. Tubuh mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah merah. Rusuknya patah tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka membiru.
Datuk Penghulu tegak dengan kaki terpentang. Menghadap Mayor itu dengan perasaan muak. Disamping mayor itu tergeletak samurainya. Si Bungsu yang baru saja tergolek jatuh, melihat betapa perkasanya Datuk itu. Demikian cepat dia bergerak. Benar-benar seorang pesilat yang tangguh. Dia melihat betapa Datuk itu tetap tegak tanpa bergerak ketika Kempetai-kempetai itu mengepungnya dengan sangkur terhunus. Lalu tiba-tiba tubuh Datuk itu meliuk. Dan lambat-lambat dia berputar di atas kedua lututnya. Dan lambat-lambat dia jatuh di atas kedua lututnya. Tubuhnya berputar, menghadap pada si Bungsu yang masih tertelentang. Dengan terkejut, sesaat sebelum jatuh pingsan, si Bungsu melihat betapa perut Datuk itu robek mengalirkan darah perlahan ke bawah. Mereka bertatapan. Mulut Datuk itu bergerak. Tapi satu suara pun tak keluar. Namun, meskipun tak ada suara, si Bungsu seperti dapat menangkap apa yang akan diucapkan Datuk itu,
“Jaga dirimu baik-baik. Tetap bertahanlah untuk hidup, Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu, nak.”
Sepertinya kalimat itulah yang akan diucapkan Datuk Penghulu. Mulutnya tak bersuara. Tapi si Bungsu dapat membaca kalimat itu lewat ekspresi wajahnya. Lewat matanya yang berangsur jadi redup.
“Pak. . .” suara si Bungsu bergetar perlahan.
Namun setelah itu dia sendiri jatuh pingsan. Hantaman jari-jari tangan mayor itu amat menderanya. Luka di dadanya robek. Penderitaan itu tak mampu dia tahankan, dia jatuh pingsan. Dan itulah saat terakhir dia melihat Datuk Penghulu. Sebab orang tua perkasa itu mati menyusul anak dan istrinya. Tatkala dia menendang Mayor itu, samurai si mayor sudah tercabut separoh. Ketika tendangannya mendarat di rusuk si mayor Jepang itu membabatkan.
Mayor itu adalah samurai yang tangguh. Pangkatnya yang Syo Sha itu saja sudah menjamin bahwa dia adalah seorang samurai yang tak bisa dikatakan tak cepat. Setiap perwira Jepang tidak hanya wajib mahir dalam mempergunakan samurai. Lebih dari itu, samurai merupakan suatu seni bela diri turun-temurun. Yang mendarah daging, yang merupakan kebanggaan tradisi bagi lelaki Jepang untuk mempelajarinya Makin mahir lelaki Jepang dengan samurainya, makin tinggi penghormatan orang padanya.
@
I. Tikam Samurai