Tikam Samurai - 123

“Bila engkau berniat untuk pergi….?”
“Kalau bisa besok pagi-pagi pak…”
“Tak ada yang dapat kami perbuat, selain mendoakan engkau selamat pulang pergi….”
“Terimakasih pak…”
“Teman-teman….para pejuang yang tadi kemari, sebenarnya memang sangat menghormatimu. Mereka tak berniat untuk menyakiti hatimu. Mereka memang ikhlas memberikan penghargaan itu….”
“Saya tahu. Dan saya juga tidak tersinggung. Saya khawatir merekalah yang tersinggung. Karena saya menolak. Saya benar-benar merasa tidak pantas untuk menerima penghargaan itu pak. Bagaimana saya menerima pemberian sehelai baju misalnya, kalau saya menjadi demam dan tersiksa memakainya. Atau kalau baju itu terlalu longgar bagi tubuh saya yang kecil. Itulah yang saya rasakan. Dan itu saya kemukakan dengan segenap kejujuran pula”.
Dan percakapan itu terhenti sampai disana. Si Bungsu bersiap-siap malam itu. Dia masih memiliki uang dari penjualan perhiasan yang mereka ambil dengan Mei-mei dirumah Cina di Payakumbuh dahulu.
Sebenarnya tak banyak yang dia persiapkan. Hanya ada sepasalinan pakaian. Kemudian uangnya dia simpan dalam kantong kain. Lalu sebuah samurai. Itulah bekalnya.
Salma tengah menyulam diruangan tengah ketika si Bungsu muncul. Mereka bertatapan, dan si Bungsu dapat melihat betapa mata gadis itu basah sejak sore tadi.
“Salma….” Katanya. Gadis itu tidak mau mengangkat wajah. Dia menunduk. Tidak menyulam karena tubuhnya terguncang-guncang menahan tangis.
“Saya banyak berutang budi padamu. Tak tahu bagaimana saya membalasnya. Hanya pada Tuhan saya berdoa agar kebaikanmu dan kebaikan ayahmu dibalasNya setimpal”
Dia lalu meletakkan sebuah bungkusan dimeja di depan Salma.
“Ini bukan sebagai tanda terimakasih saya. Tidak. Ini sebagai kenang-kenangan. Saya tidak tahu apakah warnanya engkau senangi atau tidak. Guntinglah kain ini, saya beli kemarin. Gunting dan buatlah kebaya panjang, kemudian ini ada sebuah untuk kebaya pendek. Ini kain baik. Dan…ada sepasang subang dan gelang serta peniti….saya tak tahu apakah benda-benda ini berguna bagimu. Tapi… inilah tanda mata dari saya. Dan… ini sebuah cincin. Saya senang kalau kelak engkau memakainya ketika hari pernikahanmu….”
Salma tak lagi dapat menahan tangisnya. Dia menangis terisak-isak mendengar ucapan si Bungsu. Banyak yang ingin dibicarakan gadis ini. Tapi dia seorang wanita. Orang yang lebih banyak berbicara dengan hatinya. Berbicara dan menyimpan apa yang tersasa dibatinnya jauh-jauh tanpa seorangpun yang tahu. Begitulah kaum wanita selalu. Dan sebagai ganti ucapan, dia hanya mampu menangis.
Karena sebagai perempuan, apakah lagi yang bisa dia perbuat? Dia tatap kain dan perhiasan yang ditinggalkan si Bungsu untuknya. Kainnya dari bahan yang halus. Berwarna biru dengan kain batik buatan jawa yang halus.
Dan malam itu adalah malam yang tak terpicingkan oleh mata Salma. Demikian pula dengan si Bungsu. Dia ingin tinggal di kota ini. Dia jatuh hati pada gadis yang telah merawatnya itu. Namun apakah itu mungkin?
Bukankah dia telah bersumpah akan menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakaknya? Dan satu hal yang amat penting, apakah gadis itu juga mencintainya? Ah, dia tak berani memikirkan itu. Gadis itu baik padanya pastilah hanya karena dia dianggap sebagai abangnya.
Dia bolak-balik ditempat tidurnya. Menelungkup. Menelentang.
Dan akhirnya kedua mereka sama-sama tertidur takkala subuh hampir datang. Dan pagi harinya si Bungsu bersiap-siap untuk berangkat. Salma hanya sebentar tertidur. Kemudian bangkit sembahyang subuh. Lalu bertanak dan memasak kopi.
Ketika ayahnya dan si Bungsu selesai sembahyang, dia telah selesai pula dengan masakannya. Di tikar di ruang tengah telah terhidang nasi padi baru. Gulai ayam yang telah disembelih sore kemarin. Kopi panas.
Tanpa banyak yang bisa dipercakapkan mereka makan bertiga.
Akhirnya sampai juga saatnya bagi anak muda itu mohon diri. Mereka bersalaman. Lalu si Bungsu pun mengambil buntalan pakaiannya. Berjalan ke pintu. Dia terhenti ketika didengarnya Salma memanggil.
Gadis itu mendekat dengan kepala tunduk.
“Terimakasih atas pemberian uda kemarin. Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih. Tapi….saya berharap uda mau menerima ini….sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada, lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknua selalu mendoakan semoga selamat dan bahagia selalu…” Salma menanggalkan cincin bermata intan dijari manisnya. Kemudian dengan masih menunduk, dia meraih tangan si Bungsu. Memasukkan cincin itu kejari manis si Bungsu.
Persis ukurannya. Cincin itu ternyata pas. Tubuh si Bungsu yang tak begitu besar ternyata memungkinkan cincin itu pas dijari manisnya. Dan sehabis memakaikan cincin itu, Salma berlari kekamarnya. Dia menangis disana.



@



Tikam Samurai - 123