Tikam Samurai - 124

Si Bungsu hanya tertegak diam. Sekilas tadi dia melihat dijari manis itu terpasang cincin yang kemaren dia berikan. Dia menoleh pada Kari Basa. Orang tua itu hanya menatapnya dengan tenang. Sekali lagi si Bungsu menyalami orang tua itu. Kemudian cepat berbalik dan melangkah ke jalan raya.
Pagi itu dia meninggalkan Bukittinggi. Kota itu, seperti halnya seluruh kota-kota lainnya di Sumatera, masih dikuasai Jepang secara de facto. Kekuasaan menjelang datangnya tentara sekutu yang akan mengambil alih kekuasaan tersebut.
Dengan sebuah truk mengangkut sayur-sayuran dia meninggalkan kota itu. Jalan yang ditempuh bukan main buruknya. Berlobang-lobang dan hanya dibeberapa bahagian saja yang beraspal.
Tiga jam kemudian dia memasuki kota Payakumbuh. Truk itu berhenti dekat stasiun kereta api. Penumpang di atasnya yang berjumlahh empat orang orang, umumnya pedagang sayur dan beras, turun untuk mengisi perut.
Dengan perasaan berdebar, si Bungsu turun pula. Ada perasaan lain menyelinap dihatinya ketika kakinya menjejak kembali kota Payakumbuh. Kota itu sudah seperti kampung halamannya. Ketika ayahnya masih hidup dahulu, dia sering dibawa kemari. Itu waktu kecil. Ketika dia telah dewasa, dia sering pula ke kota ini. Pergi berjudi.
Dan kini dia datang lagi. Kenangan masa launya berlarian sempanjang jalan raya. Kereta api kelihatan mengepul asapnya dari kejauhan. Peluitnya terdengar memekik sayu. Dibelakang lokomotofnya yang tua terlihat enam buah gerbong. Merangkak lambat-lambat memasuki kota.
Si Bungsu telah matang oleh penderitaan. Telah masak oleh pengalaman hidup. Emosinya sudah tertempa. Dia kini seperti karang di samudera. Namun, dia tetap saja manusia. Melihat kereta api itu merangkak perlahan, mendengar pekik peluitnya yang sayu, dia segera teringat masa kecilnya.
Ketika bersama ayahnya pergi ke Baso, ke Biaro, ke Bukittinggi. Mereka naik kereta api. Tanpa dapat diatahan, air matanya mengalir dipipinya. Dia memandang keselatan. Jauh disana kelihatan Gunung Sago tegak dengan gagah disapu awan.
Dan dikaki gunung itu adalah kampung halamannya. Tempat darahnya tertumpah. Disanalah ayah ibu dan kakaknya berkubur. Kampung kecil bernama Situjuh Ladang Laweh.
Dan tak berapa ratus meter dari stasiun itu adalah rumah dimana dahulu dia bertemu dengan Mei-mei.
Dahulu dia naik bus tua ke Bukittinggi dari kota ini berdua dengan Mei-mei. Dan kini dia datang lagi. Sendirian. Dan di Bukittinggi pagi tadi dia meninggalkan seorang gadis, gadis yang dia-diam telah mencuri sebahagian hatinya. Salma!
Dia menarik nafas. Menghapus air mata. Dan perlahan-lahan berjalan masuk kedai. Kedai nasi itu cukup besar. Ruangan dalamnya lebar. Pada sudut kiri dia lihat beberapa lelaki duduk. Dan selintas saja dia mengetahui bahwa lelaki-lelaki disudut itu sedang berjudi.
Dia teringat masa lalunya. Dia melihat seperti dirinya yang duduk ditikar itu. Bersila dan membagi kartu. Diablik kain dipinggang para lelaki itu dia yakin tersisip sebilah pisau. Hal itu dia ketahui sebab disitulah dahulu dunianya.
Pada bahagian depan kelihatan orang sedang makan. Si Bungsu menuju ke meja dekat seorang perempuan muda. Duduk dihadapnnya karena tak ada lagi tempat lain yang kosong.
“Nasi satu….” Katanya.
“Apa sambalnya?”
Dia memalingkan kepala ketempat ikan-ikan yang telah dimasak. Memperhatikannya.
“Dendeng bakar dan sambal lado serta petai muda”
Orang kedai mengambilkan pesanannya. Meletakkan diatas meja. Si Bungsu mengangguk pada perempuan muda didepannya. Kemudian pada lelaki disampingnya. Lalu mulai menyuap.
“Nampaknya kita berhenti disini agak lama. Ada per yang patah. Dan ban bocor. Harus ditambal dulu. Jalan yang akan kita tempuh bukan main parahnya. Jauh lebih parah dari jalan yang telah kita lalui” sopir truk berkata sambil mengempaskan diri di balai-balai.
Dan sopir itu meminta nasi.
Seorang lelaki tiba-tiba mendekati mereka. Dia mendekati perempuan muda yang duduk dihadapan si Bungsu. Berbicara perlahan. Perempuan itu menolak. Tapi lelaki itu nampaknya memaksa. Perempuan itu menolak kembali.
Dan akhirnya perempuan muda yang cukup cantik itu menyerah pada paksaan lelaki tersebut. Dia membuka gelang ditangannya. Memberikannya pada si lelaki. Dan lelaki itu kembali ke balai-balai disudut ruangan. Kembali berjudi!
Si Bungsu mengangkat kepala. Menatap perempuan itu. Perempuan itu menunduk. Dan si Bungsu dapat melihat betapa wajah perempuan muda itu kelihatan murung. Sebentar-sebentar dia melirik pada lelaki yang tadi mengambil gelangnya.
Si Bungsu meneruskan makan. Demikian pula sopir di meja yang satu lagi. Ketenangan rumah makan itu tiba-tiba dipecahkan oleh suar pertengkaran. Pertengkaran itu berasal dari sudut dimana sedang berlangsung perjudian.
“Kalian main curang. Saya tak mau. Saya sudah banyak kalah!”



@



Tikam Samurai - 124