Tikam Samurai - 144

Namun karena di Pekanbaru tak ada pekerjaan yang akan dia lakukan, dia memutuskan untuk ikut ke Buluh Cina. Apa lagi kampung itu adalah kampungnya Kapten Nurdin. Hanya saja Kapten itu tak ikut bersama-sama mereka.
“Pergilah, disana ada sungai atau danau dimana engkau dapat menenangkan dirimu. Memancing atau berenang…..” Kapten itu membujuk si Bungsu untuk ikut serta bersama kedua anak buahnya. Dan si Bungsu memamng memilih untuk ikut serta. Mereka berangkat pukul dua. Kalau tak ada aral melintang, mereka akan sampai di kampung itu sekitar jam enam. Sepanjang jalan dalam kota, kelihatan pasukan Belanda berjaga dengan ketat.
Mereka mengayuh sepeda keluar kota dengan tenang. Di Kampung Simpang Tiga, dimana terletak sebuah lapangan udara kecil, penjagaan Belanda nampak makin banyak.
Belanda nampaknya mempergunakan kampung kecil ini sebagai basis perbatasan antara kota yang mereka kuasai dengan kantong-kantong perjuangan yang dikuasai tentara Indonesia.
Mereka disuruh berhenti di persimpangan menuju ke Taratak Buluh. Satu-satu disuruh masuk ke sebuah kamar kecil dimana dua orang tentara KNIL mengadakan pemeriksaan dengan ketat.
Mula-mula yang masuk adalah si Bungsu. Dia berniat membawa samurainya. Namun Korip temannya menggeleng perlahan. Si Bungsu menangkap isarat itu. Dia segera ingat, kalau Belanda mengetahui bahwa dia membawa samurai, maka itu akan membahayakannya. Bukankah Belanda sudah mengetahui, bahwa teman-teman mereka dibunuh oleh seorang anak muda yang membawa samurai kemana-mana?
Dengan pikiran demikian, si Bungsu masuk ke kamar penjagaan itu teanpa membawa apa-apa. Samurainya tetap dia tinggalkan dengan mengikatkannya ke batang sepeda yang dia bawa. Sepeda itu dia sandarkan di pohon kelapa didepan rumah penjagaan itu.
Dengan tenang dia masuk kedalam.
“Buka pakaian….” Seorang sersan KNIL memerintah. Si Bungsu agak tertegun. Orang yang memerintahkannya ini kulitnya sama dengan dirinya. Meski kulit KNIL itu lebih hitam, tapi dia yakin bahwa tentara Belanda itu pastilah orang Indonesia juga.
Perlahan dia membuka bajunya. Sersan itu memberi isyarat pada prajurit yang satu lagi. Prajurit itu memeriksan isi kantong baju si Bungsu. Mengeluarkan sebuah kartu keterangan diri. Kemudian sehelai saputangan.
“Mau kemana?” sergeant itu bertanya dalam aksen Melayu tinggi yang fasih.
“Ke Buluh Cina tuan…”
“Mengapa ke sana..?”
“Pulang ke kampung tuan…” dia menjawab mngikuti petunjuk Kapten Nurdin pagi tadi.
“Apa kerjamu di kampung?”
“Memotong getah tuan…”
Sergeant KNIL itu memegang tangn si Bungsu. Si Bungsu tetap tenang. KNIL itu melihat betapa pada pangkal jari-jari tangan anak muda itu kelihatan benjolan yang mengeras. Dan dia jadi yakin bahwa anak muda ini memang seorang penakik getah. Sebab benjolan yang mengeras ditelapak tangannya itu membuktikan bahwa dia memang selalu memegang benda keras.
Tanda demikian itu tak terdapat pada pedagang ikan yang tiap pagi mengayuh sepeda atau pada pejuang yang hanya memegang bedil.
“Dimana tinggal di Buluh Cina….” KNIL itu menatap wajah si Bungsu. Seperti mencari sesuatu diwajahnya itu. Si Bungsu hanya diam. Dan akhirnya sersan KNIL itu menyuruhnya kembali berpakaian. Dan menyurhnya keluar.
Si Bungsu mengambil spedanya. Berdiri dengan memegang sepeda itu di jalan raya. Menanti kedua temannya yang masuk ke dalam. Dia menarik nafas-nafas lega. Telapak tangannya ada benjolan mengeras adalah karena tiap hari dia melatih dirinya dengan samurai. Tapi siapa nyana, bekas tangannya itu justru bisa menyelamatkan dirinya saat ini.
Tiba-tiba dia kaget mendengar bentakan dari dalam kamar pemeriksaan. Dan tak lama kemduain disusul dengan suara tamparan. Dia mulai mempelajari situasi. Kalau terjadi apa-apa, andainya kedua temannya itu diketahui bahwa mereka adalah pejuang maka dia akan susah untuk melarikan diri.
Sebab sekitarnya ada kira-kira dua belas tentara Belanda yang menjaga dengan bedil terhunus. Mereka memang seperti tak acuh saja. Tapi kalau kedua temannya itu tertangkap, maka dia tentu akan ditangkap pula. Dan kalau dia berusaha melarikan diri, maka tentara Belanda yang diluar ini pasti siap untuk merajamnya dengan semburan peluru.
Dia menanti dengan tegang.
Tak lama kemudian, kelihatan kedua temannya itu keluar dengan mulut dan hidung berdarah. Mereka mengambil sepedanya. Lalu mengangguk pada si Bungsu. Dan ketiga orang ini, di bawah tertawaan tentara Belanda yang ada di luar mengayuh sepeda mereka ke arah Teratak Buluh.



@



Tikam Samurai - 144