Alat negara sendiri kewalahan menghadapi kelompok Jakuza ini. Sebab mereka mempunyai kaki tangan yang amat banyak. Dan mempunyai kekuatan besar. Mereka umumnya beroperasi dengan senjata samurai. Dan dikalangan pejabat sendiri, mereka mempunyai beking.
Si Bungsu mengetahui hal itu dari temannya Kenji. Dan itulah kenapa sebabnya ketika para Jakuza itu sampai pada dirinya, dia menyerahkan uang dikantongnya. Ada beberapa ratus Yen. Itu diserahkannya semua.
Keempat anggota Jakuza itu menatap padanya agak lama.
“Anata wa Tai-jin desu” (Anda orang Muangthai) salah seorang bertanya.
“Watashi wa Indonesia-jin desu…” Saya orang Indonesia) jawabnya perlahan.
“Ooo… Anata wa Indonesia-jin desu….”(ooo, orang Indonesia he?)
“Hai..” (ya) jawabnya perlahan.
Dan keempat Jepang itu tak peduli. Di negeri mereka ini kini cukup banyak suku bangsa berdatangan. Ada orang Muangthai, Malaya, Philipina, Indonesia dan orang-orang Korea. Bagi mereka tak ada soal. Selama orang itu tak mendatangkan kesulitan bagi organisasi mereka, silahkan tinggal di Jepang.
Tapi sekali orang itu salah jalan, artinya berbuat tak baik menurut ukuran kelompok Jakuza, maka mereka tidak hanya sekedar diburu, tapi juga dibunuh.
“Anohito wa dare desu ka” (siapa ini) tanya anggota Jakuza itu sambil menunjuk tubuh yang berbaring disisi si Bungsu.
Dan untuk pertama kalinya si Bungsu menyadari bahwa tubuh ini datang ketika dia telah berbaring. Dan sejak saat itu, dia tak mengetahui dan tak peduli padanya. Mereka tidur saling membelakang.
Kinipun tubuh itu tidur membelakang padanya dengan kepala tertutup kain.
“Saya tidak tahu…”
Kembali keempat lelaki itu menatapnya.
“Anata wa Nippon-go o hanasukoto ga dekimasu ka” (apakah anda bisa bicara dalam bahasa Jepang?) tanya lelaki yang nampaknya menjadi pemimpin diantara yang berempat itu.
“Hai, bisa sedikit” jawabnya.
“Nah bangunkan dia, dia harus bayar pajak” lelaki itu berkata sambil menunjuk pada tubuh yang tidur itu.
“Maaf, saya tak mengenalnya. Dia datang ketika saya sedang tidur..”
“Bangunkan dia!” suara Jepang itu memerintah. Si Bungsu tak mau cari perkara. Dia sudah berniat menbangunkan orang itu ketika tubuh tersebut bergerak dan bangkit duduk.
Dan mereka semua, termasuk si Bungsu jadi tertegun. Orang itu ternyata seorang gadis. Dia pastilah gadis yang cantik sekali. Sebab meski dalam keadaan pakaian yang tak menentu dan rambut kusut masai, keadaannya masi tetap memikat.
“Hannako…” Jepang yang bertindak jadi pimpinan itu berkata keheranan.
Gadis itu menatap dengan dingin.
“Apakah kalian masih belum puas?” tiba-tiba gadis itu berkata.
“Hannako, kenapa kau pergi dari rumah Kawabata?”
Gadis itu memandang muak pada keempat lelaki tersebut.
“Ayo kau ikut kami. Kalau kau tak senang di rumah Kawabata, kau boleh tinggal dirumahku…” lelaki yang bertindak sebagai pimpinan diantara yang berempat itu berkata lagi.
Gadis itu terkejut.
Namun dia tak diberi kesempatan. Tangannya ditarik dengan kuat. Dan saat berikutnya dia sudah dipangku oleh yang beryubuh besar itu keluar terowongan.
“Hmm, kau main gila dengan Hannako he…?” Jepang yang bertubuh pendek berkata. Dan sebelum si Bungsu menyadari apa yang dimaksud si pendek itu, mukanya kena tampar tiga kali.
Dan ketiga Jepang itu menyusul pimpinannya yang memangku Hannako. Si Bungsu mendengar gadis itu berteriak dan menangis sambil memukuli punggung Jepang besar itu.
Namun perlawanan gadis itu tak ada artinya dibanding dengan Jepang yang memangkunya. Dalam waktu dekat, mereka telah sampai diluar terowongan. Mereka tidka mengambil jalan ke rel kereta api. Tapi mengambil jalan ke belakang.
Penghuni terowongan yang ratusan orang jumlahnya itu hanya menatap dengan diam. Mereka tak mau ikut campur. Sebab masalah mereka saja tak bisa mereka atasi. Apalagi harus berhadapan dengan komplotan Jakuza. Oi mak, minta ampunlah!
Keempat lelaki Jepang itu mulai melangkahi padang semak menuju jalan raya. Namun mereka segera terhenti ketika terdengar seseorang memanggil dari arah belakang.
Mereka menoleh. Dan jadi terheran-heran ketika melihat bahwa yang memanggil itu adalah si “Indonesia” tadi.
“Lepaskan gadis itu….” Suara si “Indonesia” yang tak lain daripada si Bungsu itu terdengar dingin.
@
Tikam Samurai - II