Keempat lelaki itu saling pandang. Kemudian tertawa meringis. Yang memangku tubuh Hannako itu memberi isyarat. Sementara dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan. Ketiga anggota Jakuza itu lalu mengelilingi si Bungsu.
“Hmm, kamu mau Hannako ya? Orang jajahan mau makan orang Jepang ha!?” yang pendek yang tadi menampar si Bungsu berkata. Dan ketiga mereka lalu menyiapkan suatu hajaran buat si “Indonesia” ini.
Sementara itu yang tinggi besar tadi sudah berjalan agak sepuluh langkah dari tempat dimana si Bungsu tadi menahan mereka.
Dia sudah akan melangkahi parit kecil ketika kembali terdengar suara menahannya dari belakang. Dia berhenti dan menoleh. Dan kali ini dia jadi kaget. Yang menahannya ternyata si “Indonesia” itu lagi.
Dia tak melihat seorangpun diantara ketiga temannya tadi. Kemana mereka? Dia coba melihat kebelakang. Dan jauh disana, dengan terkejut dia lihat ada tiga sosok tubuh terhantar di tanah tak bergerak!
Terdengar serapah dari mulutnya.
Dia lalu menjatuhkan tubuh Hannako. Gadis itu jatuh tertelungkup.
“Jahanam, berani waang melawan orang Jepang!” lelaki besar itu berkata sambil maju. Dan sebuah tendangan khas Karate dilayangkannya ketubuh si Bungsu.
Namun anak muda ini telah awas. Sarung samurainya bergerak sambil menghindar dari tendangan itu. Tendangan si besar menerpa tempat kosong. Dan tiba-tiba kepalanya kena hantam sarung samurai. Suaranya berdetak dalam cuaca dingin dipagi hari itu.
Bukan main marahnya Jepang itu. Dia berputar dan kembali menyerang dengan pukulan-pukulan Karate. Sebenarnya dia bukan lawan si Bungsu dalam hal begini. Anak muda ini tak sedikitpun mengetahui ilmu beladiri itu. Tapi dia memang tak berusaha melawan serangan maut itu.
Dia hanya menghindar sebelum serangan itu tiba. Dan berkali-kali sarung samurainya dihantamkan ke kepala Jepang itu.
Suatu saat Jepang itu kelihatan kehabisan rasa sabarnya. Tahu-tahu ditangannya kini terpegang samurai pendek.
“Kubunuh kau!” desisnya sambil menyerang dengan kecepatan kilat dengan samurainya yang tersohor itu. Jakuza adalah kelompok bandit yang mahir dengan samurai.
Tapi kali ini, Jepang itu ketemu lawan yang tak pernah dia mimpikan untuk bertemu. Begitu dia mengayunkan samurainnya, saat itu pula sebaris cahaya putih menyilang dada, perut dan lehernya.
Amat cepat, amat luar biasa. Amat tak pernah terbayangkan. Dan Jepang itu rubuh dengan perut, dada dan leher robek menyemburkan darah. Mati!
Dan hanya sepersepuluh detik setik setelah itu, si Bungsu telah menyarungkan kembali samurainya. Ini adalah kali kedua dia mempergunakan samurainya sejak datang di Tokyo tiga bulan yang lalu. Malam tadi yang pertama ketika dia membunuh tiga tentara Amerika di penginapan Asakusa.
Angin bertiup p[erlahan. Dia menatap gadis itu. Dan gadis yang bernama Hannako itu juga menatapnya.
“Arigato. Arigato. Domo arigato gozaimasu…” (Terimakasih… Terimakasih banyak) gadis itu berkata diantara air matanya yang mengalir turun.
“Nakanaide kudasai…” (Jangan menangis…) katanya perlahan membujuk gadis itu.
Tapi gadis itu makin menangis. Dia memegang tangannya. Kemudian membawanya masuk kembali ke terowongan darimana mereka tadi datang.
“Tenang, jangan menangis. Engkau telah selamat dari mereka…”
“Terimakasih. Anda telah menyelamatkan nyawa saya. Mereka sangat kejam. Mereka bukan manusia…..mereka…”
“Tenanglah…”
Dan gadis itu menangis dipundaknya dalam terowongan itu. Lama gadis itu menangis. Sampai akhirnya dia tenang. Dan si Bungsu teringat, bahwa mereka belum makan apa-apa sejak pagi.
Dia membawa gadis itu keluar terowongan. Ke arah yang berlawanan dari yang ditempuh keempat Jakuza tadi.
“Mereka akan mencari orang yang membunuh temannya….” Gadis itu berkata perlahan ketika mereka duduk dalam sebuah warung kecil di pinggir jalan.
“Mereka takkan menyangka saya yang membunuhnya. Mereka pasti menduga ada perkelahian sesama orang Jepang…” si Bungsu berkata tenang.
Hannako menatapnya.
“Mari kita makan. Nani ni nasaimasu ka” (mau pesan apa?) tanyanya. Gadis itu menatapnya.
“Anda fasih berbahasa Jepang…”
“Tidak, saya belajar sedikit dari seorang teman. Nah, saya pesan Sukiaki, anda pesan apa?”
@
Tikam Samurai - II