Kembali terdengar suara berdengung dalam ruangan itu mendengar tantangan anak muda ini.
Semua orang pada berbisik. Pada menatapnya. Dan tiba-tiba mereka semua baru menyadari bahwa ditangan kiri anak muda itu sebenarnya tergenggam sebilah samurai. Bukan tongka kayu seperti yang mereka duga semula.
Tokugawa menatap pada Kawabata. Menatap dengan sinar mata yang sulit diartikan. Kemudian dia berpaling pada si Bungsu.
“Merupakan kehormatan bagi saya, bahwa engkau menantang Jakuza dengan samurai. Saya, Tokugawa, pimpinan Jakuza wilayah Tokyo sekitarnya, memberi jaminan padamu, bahwa setelah pertarunganmu dengan Kawabata, tak perduli engkau kalah atau menang, maka tak seorangpun anggota Jakuza yang akan mengganggu Hannako dan Kenji serta diknya”
Semua pimpinan Jakuza dalam ruangan itu pada terdiam.
“Domo arigato gozaimasu. Tapi, barangkali saya mati dalam ertarungan ini. Apakah bukti bahwa Tokugawa memegang janjinya untuk takkan mengganggu Kenji, Hanako dan adiknya” suara si Bungsu terdengar lagi.
Tokugawa berjalan ke depan. Di samping si Bungsu ada sebuah meja kecil dimana terletak sebuah kendi porselin putih.
Tokugawa menurunkan porselin itu. Kemudian tiba-tiba dari balik kimononya dia mengeluarkan sebilah samurai pendek. Dia memberi isyarat. Seorang pelayan bergegas membawa sehelai kain putih.
Dia meletakkan tangan kirinya di atas kain putih itu. Lalu menghunus samurai pendeknya. Dia menatap pada si Bungsu. Menatap pada 20 anggotanya yang memandang padanya dengan kaget. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza itu tiba-tiba berlutut.
Si Bungsu tak mengerti apa yang akan diperbuat pimpinan Jakuza ini.
Dan tiba-tiba sekali, tangan Tokugawa bergerak cepat. Samurai ditangan kanannya memutus kelingking kirinya!
Kelingking yang putus itu dia bungkus dengan kain putih. Dan tangan kirinya segera dibalut dan diberi obat oleh pelayannya.
Tokugawa mengambil kelingkingnya yang telah putus yang terbungkus kain putih itu. Dia berjalan menghampiri si Bungsu. si Bungsu benar-benar kaget. Dia tak mengerti, bahwa yang dilakukan Tokugawa sebentar ini adalah sumpah seorang samurai.
Dalam hal-hal yang muskil, bila seorang samurai sejati bersumpah, sebagai tanda bahwa sumpahnya itu takkan pernah dimungkiri, maka mereka memotong kelingking.
Dan ke 20 pimpinan Jakuza di Tokyo yang hadir itu menjadi maklum, bahwa sumpah Tokugawa terhadap anak muda ini, untuk tidak mengganggu keluarga Hannako adalah sumpah yang tak boleh siapapun melanggarnya.
Dengan pemotongan kelingking itu, maka Hannako dan saudara-saudaranya, sepenuhnya berada di bawah lindungan Tokugawa. Siapapun yang mengganggu, tak peduli dia anggota Jakuza atau tentara Amerika sekalipun, maka Tokugawa akan tegak di depan sekali membelanya.
“Ini bahagian tubuhku, kuberikan padamu sebagai bukti bahwa janjiku adalah janji samurai. Siapapun yang mengganggu Hannako dan saudaranya akan berhadapan denganku…”
Tokugawa mengulurkan kain putih yang berdarah itu. Si Bungsu tertegun. Kaget, heran dan takjub bercampur baur dihatinya. Juga perasaan terharu.
“Jika aku mati sekalipun dalam pertarungan ini, saya takkan kecewa. Saya berterimakasih atas kebaikan hati Tokugawa bersedia melindungi Hannako dan saudara-saudaranya…”
Berkata begini, anak muda dari Gunung Sago di Minangkabau itu membungkuk dalam-dalam dan menerima kelingking yang telah putus itu. Dia memasukkannya ke kantong baju.
“Domo arigato gozaimasu…” katanya sambil sekali membungkuk dalam-dalam. Tokugawa membalas membungku.
Dan ketika mereka bertatapan, si Bungsu melihat di sudut mata lelaki tua gagah kepala komplotan bandit itu, berlinang air mata.
Ada sesuatu yang membuat Tokugawa terharu atas sikap anak muda itu. Yaitu keinginannya untuk membela orang lain tanpa memperdulikan keselamatan dirinya.
Orang yang dia bela itu adalah orang Jepang yang dianiaya oleh orang Jepang sendiri.
Dan dia berani datang ke Jepang ke sarang harimau sendirian demi membela anak-anak Jepang yang teraniaya.
Usahkan memikirkan, malah orang-orang Jakuza yang menyebar bencana dan kesulitan di tengah orang-orang Jepang yang jelas telah sengsara.
Kini, ada orang lain, entah siapa dia, entah darimana datangnya, yang mau mengorbankan nyawanya demi membela anak-anak yang tertindas itu. Inilah yang membuat Tokugawa terharu.
Dia menitikkan air mata, sesuatu yang tak pernah dia lakukan selama hidupnya.
Tokugawa lalu berbalik, berjalan ke arah tempat dia tegak tadi.
“Nah, dengan apa engkau akan menantang Kawabata?” tanya Tokugawa.
“Terimakasih atas kesempatan ini. Saya memiliki sebuah samurai dan mengetahui sedikit cara mempergunakannya. Saya dengar Jakuza mahir mempergunakan samurai. Maka saya berharap Kawabata mau memberi pelajaran pada saya dalam hal ini..”
@
Tikam Samurai - II