“Bungsu-san, apa bedanya antara negerimu dengan negeriku?”
“Banyak. Di negeri kami tak ada musim dingin. Tak ada musim bunga atau musim gugur. Di sana matahari bersinar terus sepanjang tahun….”
“Oh, alangkah indah dan senangnya hidup di sana. Apakah di sana juga ada danau, gunung dan laut seperti di sini?”
“Engkau tak pernah melihatnya di peta dalam sekolah?”
Michiko tersenyum. Kemudian dengan manja menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
“Saya sudah melihatnya dalam peta. Tapi saya ingin mendengarnya dari mulutmu…. Ceritalah yang banyak Bungsu-san. Ceritalah tentang negerimu. Tentang dirimu. Tentang apa saja…”
“juga tentang bangsamu yang menjajah dan memperkosa negeriku?” hampir saja pertanyaan itu melompat dari mulut si Bungsu. untung dia segera dapat menahan diri.
Dia sadar, gadis ini tak ada sangkut pautnya dengan fasisme militer yang menjajah negerinya.
“Saya takkan bercerita, saya akan menyanyi. Engkau mau mendengarkan nyanyiku…?” tanyanya sambil memeluk bahu Michiko. Gadis itu bangkit dari bahu si Bungsu. Menatap wajahnya dengan pandangan berbinar.
“Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san…” katanya gembira dan kembali dia merebahkan kepalanya ke bahu si Bungsu. si Bungsu memeluk bahu gadis itu dan mulai batuk-batuk kecil mengatur suara.
Dan dia mulai menyanyi dengan suaranya yang berat dan lembut.
“Meskipun turun hujan,
Saya akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupakan saya
Selamat tinggal”
Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap anak muda itu tepat-tepat.
“Anata wa nippon no uta o shitte imasu…’ (Anda mengetahui lagu Jepang), kata Michiko heran.
“Hai, sukhosi dekimasu…” (Ya, mengetahui sedikit)
“Itu lagu yang sangat mengharukan. Lagu perpisahan antara dua kekasih. Dimana anda belajar?”
“Saya belajar dari seorang sahabat. Seorang pelaut. Kami sekapal dari Singapura ke Tokyo…”
“Ya, itu adalah lagu pelaut-pelaut yang meninggalkan pelabuhan sepinya. Anda menyukai lagu itu?”
“Ya…saya suka sekali…”
“Kenapa?”
“Karena saya adalah pelaut. Bukankah setiap pengembara adalah pelaut dalam arti kata yang lain? Pengembara pergi dan datang ke suatu negeri seperti pelaut datang dan pergi ke satu, dan lain laut sepi. Begitulah saya…”
“Oh, Bungsu-san….” Michiko menyembunyikan rasa harunya ke dada pemuda itu.
Si Bungsu memeluk bahu gadis itu kembali. Tanpa dia ketahui, air mata gadis itu mengalir di pipi. Pemuda itu menyanyikan lagu sepi dan mengucapkan selamat tinggal.
Dan Michiko merasa bahwa lagu itu ditujukan untuk dirinya. Dengan halus si Bungsu tadi telah menolak untuk menginap di rumahnya. Bukankah itu isyarat, bahwa pemuda itu tak lagi akan bertemu dengannya?
Dia merasakan tangan anak muda itu memeluk bahunya. Merasakan pipi anak muda itu bersandar ke rambutnya yang lebat. Michiko memegang tangan si Bungsu yang memeluknya. Memegangnya dengan lembut.
Dengan sikap demikian, dia kembali tertidur. Dan dengan sikap demikian pula si Bungsu mengenang kembali masa lalunya di Minangkabau.
Ingatannya menikam masa tahun-tahun yang lenyap dalam jejak zaman.
Teringat akan kegemarannya berjudi ketika muda. Pada kebenciannya belajar silat. Meski ayahnya, Datuk Berbangsa adalah Guru Tuo dalam aliran silatnya di kaki Gunung Sago itu.
Teringat pada Mei-Mei. Pada “Isteri” pertamanya yang tak sempat dia nikahi itu. Gadis Cina itu meninggal di atas loteng surau di Tarok, Kota Bukittinggi sesaat sebelum mereka membaca ijab kabul di depan Kadhi. Gadis itu meninggal karena diperkosa oleh selusin serdadu Jepang.
Kemudian dia teringat pada Salma. Gadis murid sekolah Diniyah yang orang tuanya tinggal di Panorama Bukittinggi. Gadis itulah yang mengobat luka-luka yang dia derita dengan penuh kasih sayang.
Dan tanpa dia sadari, ibu jarinya meraba jari manisnya yang kiri. Sebentuk cincin bermata Intan melingkar disana. Cincin pemberian Salma.
@
Tikam Samurai - II