Tikam samurai - 330

Tubuhnya kurus tak terurus. Namun bayangan kecantikannya masih jelas. Itulah salah satu sebab kenapa orang banyak datang melihat bila mereka main saluang. Orang ingin menatap wajahnya yang lembut dan matanya yang indah.
Siapa sangka, gadis cantik bunga kampungnya dulu itu akhirnya akan jadi pendendang saluang. Yang hidup dengan menjual suara disepanjang malam yang dingin dan lembab. Yang mencari nafkah dari belas kasihan orang banyak. Namun itu juga suatu perjuangan hidup. Mereka masih mau berusaha, tidak sekedar menampungkan tangan minta sedekah. Mereka juga pedagang. Meski yang diperdagangkan adalah suara.
”Kata orang….Uda telah meninggal di Pekanbaru….”
Si Bungsu dikagetkan oleh suara Reno. Dia mengangkat kepala.
”Meninggal?”
”Ya. Banyak orang berkata begitu. Berita itu dibawa oleh panggaleh dari Pekanbaru. Uda ikut bergerilya di sana. Sampai akhirnya tertembak dan…meninggal di sebuah kampung bernama Buluh Cina…”
Ya, itulah cerita yang didengar oleh Reno ketika masih gadis. Semula dia sangat sedih ketika diberitahu orang tuanya bahwa pertunangannya dengan si pejudi telah diputuskan. Dia lalu dicarikan calon suami. Seorang kaya dan masih ada pertalian darah dengan keluarganya. Namun gadis cantik itu menolak. Dia mencintai si Bungsu, teman sesama mengajinya itu. Mereka memang tak pernah bicara soal cinta. Namun beberapa kali bertemu, di surau tempat mengaji, di pasar atau di jalan, mereka sempat saling beradu pandang. Saling mengerling dan bertukar senyum. Itu sangat membahagiakannya. Dia tak perduli si Bungsu itu pejudi.
Ketika huru-hara selama pendudukan Jepang berlangsung, dia dan keluarganya mengungsi ke Painan. Tempat yang jauh dari jangkauan balatentara Jepang. Di sana dia selalu berharap untuk dapat bertemu dengan si Bungsu. Dia ingin mengatakan pada anak muda itu, bahwa dia mencintainya. Bahwa dia akan tetap menantinya. Dia yakin anak muda itu juga mencintainya. Meski si Bungsu tak pernah berkata begitu, tapi hati perempuannya yang paling dalam mengatakan bahwa anak muda itu juga menaruh rasa suka padanya.
Bertahun-tahun lewat, dia telah dibawa pindah kemana-mana. Dia tetap menolak untuk dinikahkan dengan lelaki lain. Dia tak mengatakan pada orang tuanya alasan penolakannya. Pokoknya dia menolak. Sampai suatu hari dia ditanya oleh ibunya.
”Engkau masih menanti si Bungsu, Reno?”
Reno kaget, dia tatap ibunya. Perempuan tua itu juga menatapnya. Ibu selamanya adalah orang yang paling dekat dan paling mengerti akan isi hati anaknya. Ibu selamanya adalah perempuan yang penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya. Reno menangis dan memeluk ibunya yang tua.
”Maafkan Reno, Mak…” katanya lirih.
”Katakanlah. Apakah engkau mencintainya, dan masih menantinya?”
Lama sunyi, sampai akhirnya Reno mengangguk dan menangis dalam pelukan amaknya. Ya, kemana lagi dia harus mengadu. Si ibu berlinang air matanya. Sejak saat itu si ibu berusaha keras mencari kabar tentang si Bungsu.
”Ke ujung langit pun dia, saya akan mencarinya. Saya akan melamarnya kembali untuk Reno…” ujar si ibu suatu malam, saat dia bertengkar lagi dengan suaminya.
”Membuat malu! Bangsat itu penjudi! Dahulu pejudi itu telah memutuskan hubungannya dengan melemparkan cincin pertunangannya bukan? Apakah anakmu tak laku, sehingga tak ada lelaki yang mau jadi suaminya? Reno cukup mengangguk saja, maka sepuluh lelaki kaya atau yang berpangkat akan datang melamarnya! Katakan begitu pada anakmu yang gila itu! Pada gadis tuamu itu! Apakah dia tetap takkan berlaki sampai tua, sampai jadi nenek-nenek. Apakah dia ingin marando tagang?” sergah suaminya dengan berang.
Tapi isterinya juga jadi naiak suga.
”Tuan lelaki busuk! Hanya memikirkan diri Tuan saja. Tuan tak pernah memikirkan bagaimana hati anak Tuan. Biar dia kawin dengan rampok sekalipun, asal dia mencintainya dan bahagia…!”
”Kalian sama-sama gila!”
Reno yang mendengarkan pertengkaran itu hanya menangis di kamarnya. Lalu,… suatu hari datanglah kabar itu. Kabar tentang kematian si Bungsu di Desa Buluhcina. Sebuah desa 25 kilometer dari kota Pekanbaru. Reno merasa dirinya runtuh mendengar berita kematian itu.
”Tak mungkin. Tak mungkin…” desahnya berkali-kali.
Berbulan-bulan dia tetap tak mempercayai berita itu. Namun itulah berita terakhir yang didengarnya tentang lelaki yang dia cintai itu. Dan akhirnya, dia menyerah pada kehendak kedua orang tuanya. Terutama kehendak ayahnya. Agar dia segera menikah. Dia lalu menikah. Meski dalam usia yang sudah sangat terlambat menurut ukuran saat itu. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya. Namun hanya beberapa tahun. Pedagang itu dirampok. Tokonya dibakar. Hartanya ludes. Dan suaminya sendiri mati dalam suatu kecelakaan. Reno yang telah kematian ayah dan ibu, jadi hilang kemudi.
Untunglah ada seorang lelaki, pemain rabab yang ikut kelompok saluang yang menikahinya. Dia tak punya pilihan.



@



Tikam samurai - 330