Tikam Samurai - 331

Makanya dia menerima dikawini lelaki itu. Daripada hidup dalam godaan. Daripada sesat. Begitulah sejarahnya. Dan kini, di hadapannya, duduk lelaki yang pernah dia nanti bertahun-tahun. Lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Kalau malam tadi dia tak mengenal si Bungsu, itu memang bukan salahnya. Anak muda itu kelihatan terlalu gagah dengan tubuh berisi. Lagipula mana berani Reno menatap lelaki lama-lama.
Karena dia tahu terlalu banyak lelaki usil yang selalu berdatangan ke tempat mereka bersalung. Tak perduli dia telah bersuami, dan suaminya ada pula di dekatnya! Kalaupun mungkin ada hatinya berdetak, namun bagaimana dia akan meyakini bahwa lelaki itu adalah si Bungsu? Yang telah dikatakan meninggal dunia. Dia tak mau ditipu oleh mata. Dia tak mau ditipu oleh harapan yang telah punah.
”Apakah engkau tak pernah pulang ke kampung, Reno?” si Bungsu bertanya perlahan.
Dia ingin sekali mendengar cerita tentang kampung halamannya. Tentang Situjuh Ladang Laweh. Reno menggeleng.
”Sudah lama sekali saya tak ke sana. Sudah berbilang tahun. Apa yang harus saya jenguk ke sana? Tak ada lagi ayah dan ibu, tidak juga sanak tak ada famili. Kalaupun ada famili jauh, famili sesuku, mereka takkan mengacuhkan karena kami miskin. Sudah demikian adat di kampung kita. Orang yang dipandang dan didatangi, bila pulang dari rantau, adalah orang-orang yang pulang membawa harta. Orang-orang yang berhasil di perantauan…” Reno menjawab dengan getir.
Si Bungsu tertunduk diam.
”Apakah kalian tak mungkin berdagang?” tanyanya.
Suami Reno tertawa perlahan.
”Bukankah kami kini berdagang? Kami berdagang suara. Hanya itu yang bisa kami perdagangkan. Karena hanya itu pula modal kami. Untuk berdagang yang lain, dibutuhkan modal yang lain pula. Apalagi pergolakan ini membuat keadaan tidak menentu..”
Tapi, kendati situasi keamanan masih belum menentu, si Bungsu menyuruh mereka agar benar-benar berdagang. Dia memberinya modal dari uang yang dia bawa pulang. Keluarga pesalung itu semula menolak. Tapi si Bungsu memaksa mereka untuk menerima modal itu. Dia punya alasan untuk berbuat demikian. Dia punya uang yang cukup. Tapi untuk apa uangnya kini? Dia tak punya siapa-siapa. Dia anak yang bungsu. Tak beradik. Ada seorang kakaknya, tapi kakaknya itupun telah meninggal.
Dia ingin Reno berobah nasibnya. Lagipula Reno adalah anak mamaknya. Dengan uang itu suami Reno membeli sebuah kedai di Los Galuang. Kemudian membeli kain batik ke Padang.
Mereka berjualan kain panjang dan selimut tebal. Selain itu, masih banyak kelebihan uang dan mereka membeli sebuah rumah cukup besar di Jangkak, Mandiangin. Malam itu, selesai Magrib dan makan malam mereka duduk di ruang tengah.
”Reno, Sutan Pilihan, besok saya akan ke pergi. Mungkin ke Payakumbuh. Tapi perjalanan hidup tak bisa kita terka. Yang jelas besok saya akan pergi. Sutan sudah tahu apa hubungan saya dengan isteri Sutan di masa lalu. Saya yakin Sutan akan menjaga Reno baik-baik. Reno, nasib ditentukan oleh Tuhan. Nasiblah yang membuat kita tercerai berai. Kini sayangi dan jaga anak dan suamimu. Aku menyayangimu sebagai adikku, kenanglah aku sebagai mengenang saudara lelakimu. Aku akan bahagia bila mendengar kabar kalian hidup bahagia…”
Reno tenggelam dalam tangis terisak-isak. Sutan Pilihan tak mampu membendung air matanya.
”Demi Allah, Uda Bungsu, saya akan menjaga Reno sebagaimana Uda pesankan. Dia ibu dari anak saya, dan saya mencintainya. Saya tak tahu bagaimana harus mengucapkan terimakasih atas semua bantuan Uda pada kami, hanya Tuhan yang akan membalasnya….” ujar Sutan Pilihan perlahan.
Besoknya, ketika si Bungsu akan keluar rumah, Reno tak dapat menahan rasa kehilangannya. Dia peluk lelaki itu di depan suaminya. Sutan Pilihan menjadi sangat terharu.
”Jangan lupakan kami Uda. Jangan lupakan kami..” ujar perempuan itu dalam rasa hibanya yang sangat. Si Bungsu balas memeluknya.
”Reno Adikku, jaga suamimu, jaga anakmu..”
”Jaga juga diri Uda baik-baik…” ujar Reno diantara isaknya.
Itulah puncak pertemuan mereka beberapa bulan yang lalu, perpisahan! Semasa bertunangan mereka tak pernah berpelukan. Jangankan berpeluk, berpegangan tangan saja tak pernah. Kini, setelah zaman berlalu, saat Reno menjadi isteri lelaki lain dan si Bungsu menjadi pengembara yang tak tahu dimana akan mengakhiri pengembaraannya, mereka berpelukan sebagai dua orang adik beradik di depan suami Reno. Sutan Pilihan, suami Reno, menatap perpisahan itu dengan hati yang amat hiba. Dia ingin si Bungsu tetap berada di antara mereka. Budi dan keihlasan anak muda itu amat mengikat hatinya.



@



Tikam Samurai - 331