Tikam Samurai - 329

Datuk itu merintih-rintih,kedua pisaunya lepas,kini tangan nya memegang onde-onde yang dia sebutkan itu.Yang sakitnya bukan main,yang mencucuk ke ulu hati.Menghentak ke benak kecil.Dalam keadaan begitulah dia ditinggalkan oleh si Bungsu dan rombongan tukang saluang.Luka peniup salung itu tak begitu parah.
Mereka menuruni janjang ampek puluah,tak jauh dari los galuang itu.Tak jauh dari janjang ampek puluah itu mereka memasuki rumah yang berdinding tadia,dinding bambu yang dianyam.Dan beratap seng yang sudah merah dimakan usia.
“Masuklah,disinilah kami menompang tinggal…”ujar lelaki penggesek rebab itu.
Perempuan tukang dendang itu bergegas masuk,menyiapkan air hangat dan kopi.Kemudian mereka duduk minum kopi.Perempuan itu juga menyertai ketiga lelaki itu minum kopi.Dua orang anak-anak tidur beralaskan tikar pandan kasar berselimut selimut lusuh.
“Itu anak kami..”ujar si penggesek rebab.
Beberapa kali dia melirik istri penggesek rebab itu.
“Maafkan saya.Saya rasanya kenal dengan istri sanak…”ujarnya sambil menatap pada istri tukang rebab itu.
Perempuan yang ditatap itu heran.Dia mengangkat kepala.Menatap pada lelaki yang didepannya itu.Menatap lama-lama,tapi dia tetap tak mengenalnya.
”Ya, saya dari sana…” kata si Bungsu perlahan.
Sementara itu isterinya yang tengah menatap pada si Bungsu, tiba-tiba jadi pucat.
”Uda…, uda Bungsu…?” katanya seperti bermimpi.
”Ya. sayalah ini, Reno…” jawab si Bungsu.
Perempuan tukang dendang itu, yang tak lain dari Reno Bulan yang pernah bertunangan dengan si Bungsu ketika remaja, tiba-tiba menangis. Kedua lelaki yang ada di sana hanya menatap tak mengerti.
”Dimana ayah dan ibumu, Reno?” tanya si Bungsu perlahan.
Sesaat Reno masih menangis, yang menjawab adalah suaminya.
”Amak dan abak telah meninggal. Sudah enam tahun yang lalu.”
”Inalilahi wainnailahi rojiun…”
”Saudara kenal dengan beliau?”
”Saya masih terhitung kemenakan oleh ayahnya…” jawab si Bungsu sambil menatap pada suami perempuan itu.
”Sudah berapa lama sanak mencari nafkah dengan bersaluang ini?”
Lelaki itu menatap pada ayahnya yang meniup saluang.
”Sudah empat tahun. Kami tak bersekolah, tak punya sawah atau ladang. Saya baru enam tahun menikah dengan Reno. Yaitu setelah suaminya yang pertama meninggal dalam suatu kecelakaan…”
Si Bungsu tertunduk. Masa lalunya saat dia remaja seperti berlarian datang membayang. Ke masa dia dipertunangkan dengan Reno. Gadis tercantik di Situjuh Ladang Laweh. Dia tak tahu, apakah dia mencintai Reno waktu itu atau tidak. Dia juga tak perduli, apakah Reno mencintainya atau juga tidak. Waktu itu dia terlalu sibuk berjudi ke mana-mana, tak sempat memikirkan soal cinta atau soal pertunangan.
Dia sibuk dengan judi yang telah mencandu. Namun jauh di lubuk hatinya ketika itu, dia merasa bangga juga bertunangan dengan Reno Bulan. Betapa takkan bangga, Reno gadis paling cantik di kampungnya itu merupakan pujaan setiap anak muda. Ada pedagang dan saudagar dari Payakumbuh datang melamarnya dengan membawa uang dan emas dalam jumlah banyak sekali. Tapi Reno menolak.
Ketika mereka dipertunangkan, kampung itu jadi gempar. Gempar bukan karena mereka tak sebanding. Betapa mereka takkan sebanding, Reno gadis tercantik di seluruh desa yang berada di kaki Gunung Sago. Gadis alim dan digelari puti saking cantiknya. Sementara si Bungsu, kendati bermata sayu –kata orang tanda-tanda mati muda– namun gagah dan semampai. Pasangan yang membuat banyak orang mendecak kagum.
Namun kegemparan dipicu oleh perangai si Bungsu. Pejudi Allahurobbi, tak pernah Katam Alquran, dan tak pernah menjejak masjid untuk Jumat, Subuh atau Isa. Preman tuak yang dibenci kaum ibu di mana-mana, preman tapi tak tahu silat selangkahpun. Itulah sumbu kegemparan saat mereka dipertunangkan. Perbedaan mereka bak badak jo tukak. Reno adalah bedak yang harum semerbak, si Bungsu adalah tukak yang membuat orang muntah kayak.
Sebenarnya sudah berkali-kali pihak keluarga Reno meminta agar calon mantu mereka itu merobah perangainya. Permintaan itu tentu saja disampaikan lewat ayah dan ibu si Bungsu. Ayah dan ibunya sendiri telah berusaha keras agar anak mereka jadi orang. Tapi si Bungsu tak perduli. Bahkan dia tetap tak perduli ketika akhirnya, setelah semua usaha menyadarkannya jadi gagal, keluarga Reno datang mengembalikan tanda pertunangan. Dia benar-benar tak perduli. Malah dia melemparkan cincin pertunangan yang dia pakai pada perempuan separoh baya yang datang berunding ke rumahnya.
Perbuatan yang mendatangkan aib dan murka ayahnya. Itulah semua kisah tragedi itu. Betapa dia takkan kenal pada perempuan di hadapannya ini? Kini perempuan yang bernama Reno Bulan itu menunduk, menangis.



@



Tikam Samurai - 329