Tikam Samurai - 374

Yang satu pimpinan di antara mereka, di pinggangnya tersisip dua pistol. Satu di kiri dan satu di kanan. Yang dua lagi memakai senapan laras panjang. Mereka tidak memakai pakaian seragam. Ketiganya menatap kepada pemilik kedai itu dengan muka tak bersahabat. Sementara lelaki tua pemilik kedai dan anak gadisnya duduk dengan wajah kecut. Ketiga anggota PRRI itu nampaknya sedang mengorek keterangan dari si pemilik kedai.
Soalnya seminggu yang lalu seregu pasukan APRI datang ke kampung ini dan ke dua kampung lagi yang berdekatan. Beberapa dari mereka singgah di kedai ini, cukup lama. Sehari kemudian dua buah rumah di kampung ini disergap sepeleton tentara APRI. Mereka menangkap tiga anggota PRRI dari rumah itu, berikut lima bedil yang ada di sana. Setelah penggerebekan, sebagian pasukan kembali ke Payakumbuh. Sebagian lagi berjaga-jaga di kampung itu. Empat orang di antaranya kembali masuk ke kedai tersebut. Cukup lama. Mereka baru keluar setelah berada di dalam kedai itu sekitar dua jam.
Kedua anak beranak itu dikumpulkan di kedai mereka, dijaga oleh seorang anggota PRRI. Sementara yang dua lagi naik mengobrak-abrik dua kamar di rumah. Mereka menemukan kaleng tempat menyimpan uang, kemudian gelang, subang dan kalung emas.
Semuanya dibungkus dengan saputangan dan dibawa ke kedai lalu diserahkan kepada si komandan. Kedua anak beranak itu hanya menatap dengan diam dan ketakutan. Melawan bisa mendatangkan celaka. Dalam negeri bergolak ini hukum ada di ujung bedil.
Mereka tak berani menyanggah apapun, sebab kemaren ketiga orang ini pula yang menembak mati Amir dan isterinya di dalam rumah mereka tak jauh dari kedai mereka ini. Amir dan isterinya adalah pedagang yang menggelar dagangannya di kampung-kampung pada hari balai. Jika misalnya hari Kamis balai di Gaduik, mereka berjualan di Gaduik. Tapi hari Rabu dan Sabtu mereka berjualan di Bukittinggi, karena hari itu adalah hari pasar di kota tersebut.
Kedua suami isteri itu dituduh sebagai ”mata-mata tentara Pusat”. Tapi semua orang dikampung itu tahu, kedua mereka sudah lama dijadikan ketiga orang ini sebagai sapi perahan. Dimintai beras, uang, lauk-pauk, pakaian dan lain-lain. Bisik-bisik yang beredar mengatakan mereka dibunuh karena menolak dijadikan sapi perah. Dikabarkan mereka akan melapor kepada komandan pasukan PRRI atas sikap ketiga orang itu. Sebelum sempat melapor, mereka dibunuh dengan tuduhan mata-mata pusat! Pemilik kedai itu tak mau nasib yang sama menimpanya, karena itu dia pasrah saja ketika rumahnya digeledah dan uang serta perhiasan anaknya diambil.
”Nah jelaskan apa tujuan tentara kapir itu singgah ke kedai ini..!” ujar si komandan memulai interogasi.
”Mereka singgah di sini meminta ditanakkan nasi..” ujar lelaki tua pemilik kedai.
”Kedai ini kan bukan rumah makan..”
”Saya sudah jelaskan hal itu, Ngku. Tapi mereka tetap menyuruh Siti bertanak, bagaimana kami harus menolak?”
”Apa saja yang mereka tanyakan?”
”Tidak ada…”
Jawaban lelaki itu terputus, sebuah tinju mendarat di bibirnya. Lelaki itu terhuyung, darah mengalir dari bibirnya yang percah, anak gadisnya terpekik dan memeluk ayahnya.
”Jika tidak ada yang berkhianat, takkan terjadi penangkapan tiga orang anggota kami di kampung ini. Sehari setelah mereka makan di kedai ini terjadi penangkapan di dua rumah. Jelas tentara-tentara kapir itu telah mendapat informasi. Dan informasi itu datang dari kalian di kedai ini..”
”Demi Tuhan, sa…”
Ucapan lelaki tua itu terputus lagi oleh sebuah tendangan yang mendarat telak di dadanya. Menyebabkan dia terjatuh dan muntah darah. Anak gadisya memekik. Namun tubuhnya disentakkan oleh salah seorang anggota PRRI tersebut.
”PRRI juga sering minta ditanakkan nasi di sini. Dan selalu saya tanakkan, kendati malam telah amat larut. Kami tak pernah menolak orang minta tolong. Tapi hanya itu, kami tidak memberikan informasi apapun, karena kami tidak tahu apapun. Pak Wali, tolong ayah saya..” mohon gadis itu dalam tangisnya kepada walinagari yang duduk terdiam dengan wajah kecut.
Walinagari itu ingin membela, dia tahu lelaki tua pemilik kedai ini takkan berkhianat pada siapapun. Ke kedai ini tidak hanya anggota APRI yang singgah, tapi juga anggota PRRI. Itu disebabkan di desa kecil ini hanya inilah satu-satunya kedai yang ada. Kedai kecil menjual pisang dan ubi goreng, kerupuk jangek dan kerupuk palembang, kemudian kopi dan teh.
Pagi sekali penduduk kampung ini selalu singgah minum kopi dan makan pisang goreng sebelum mereka berangkat ke sawah atau ke Payakumbuh. Sore, terkadang malam hari, mereka juga sering ngumpul di kedai ini untuk main domino sebagai satu-satunya hiburan. Biasanya ada hiburan mendengarkan siaran radio, tapi yang punya radio transistor di kampung ini hanya seorang, Amir. Dan dia sudah mati ditembak. Radio transistornya dibawa PRRI entah kemana.



@



Tikam Samurai - 374