Tikam Samurai - 376

Di depan agak ke kanan si Bungsu, serta di belakangnya tegak orang keempat dan kelima, yaitu anggota PRRI dengan telunjuk di pelatuk bedil yang bedilnya diarahkan ke kepala si Bungsu.
Orang ke enam adalah Siti, yang masih tertegak diam di seberang meja di depan si Bungsu. Di tangannya masih terpegang secangkir kopi panas yang mengepulkan asap dalam udara dingin di pinggang Gunung Sago itu. Orang ketujuh adalah si Bungsu. Setelah mengibaskan tangannnya dia lalu mendekati pemilik kedai yang mulutnya masih berdarah itu. Dari kantongnya dia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Dari sana dia mengambil semacam daun dan kulit kayu yang sudah dikemas sebesar anak korek api.
”Telanlah ini, Pak…” ujarnya.
Lelaki itu, dengan masih berdiam diri menelan obat yang disodorkan si Bungsu ke tangannya. Beberapa kali, dengan perasaan amat ketakutan, dia melihat bergantian kepada ketiga anggota PRRI yang ada di dalam kedainya. Namun ketiga orang itu masih tegak dengan diam, mata melotot, namun tak bergerak seperti kena sihir. Saat kembali ke kursinya si Bungsu memungut sesuatu di lantai di dekat ketiga anggota PRRI itu. Nampaknya benda yang tadi terdengar seperti kerikil jatuh ke lantai.
Benda itu tak lain dari samurai kecil yang selalu tersisip di sebuah sarung kulit di lengannya. Samurai itu tadi yang dia gunakan saat mengibaskan tangan kanannya kepada ketiga orang itu. Hanya biasanya yang dia pergunakan untuk membunuh orang adalah ujung samurai kecil itu, yang luar biasa runcing. Kibasan tangannya dengan tehnik khusus menyebabkan samurai kecil itu, tiga dikiri dan tiga di kanan, meluncur amat cepat bisa membunuh orang jika diarahkan ke antara dua mata, ke dada tentang jantung, atau ke urat nadi utama di leher.
Tapi kepada ketiga anggota PRRI itu dia tidak mau menurunkan tangan kejam. Hanya hulu samurai kecil itu yang dia pergunakan menghantam urat nadi di bahu ketiga lelaki itu. Lemaparan itu membuat mereka tertotok lumpuh. Setelah menyisipkan ketiga samurai kecil itu di lengannya, kemudian ditutup dengan lengan baju panjang yang dia pakai, si Bungsu kembali ke kursinya semula. Duduk dengan tenang menunggu kopi panas yang dia pesan. Karena kopinya belum juga diletakkan, dia lalu bertanya.
”Menunggu kopi itu dingin, baru diberikan pada saya, Siti?”
Siti yang sejak tadi hanya memperhatikan apa yang dilakukan si Bungsu, seperti terbangun dari mimpi. Dia bergerak, dan meletakkan cangkir kopi di meja di depan si Bungsu.
”Terimakasih, Siti. Apa tak lebih baik Siti buatkan juga kopi untuk ayah Siti dan Bapak yang satu itu?”
”Ya..ya, akan saya buatkan..” ujar Siti, tapi tiba-tiba dia terhenti. Seperti ingat sesuatu, dengan gugup dan takut dia menoleh pada komandan PRRI itu, kemudian pada kedua anak buahnya. Ketiga mereka tetap tegak tak bergerak sedikitpun, kecuali matanya yang plarak-plirik ke kiri dan ke kanan dengan wajah pucat.
”Oh ya, penat juga memegang bedil sambil berdiri terus menerus…” ujar si Bungsu sambil melangkah dan mengambili bedil serta pistol dari tangan ketiga orang itu. Lalu mendudukkan mereka di kursi kayu terdekat.
Sama sekali tak ada perlawanan dari mereka. Usahkan melawan, mempertahankan bedil itu saja untuk tak diambil si Bungsu mereka tak bisa. Kini mereka tetap duduk dengan tangan seolah-olah masih memegang bedil dan pistol. Ketika senjata api itu diletakkan si Bungsu di atas meja di depan si komandan.
”Buatkanlah, bapak-bapak ini takkan mengganggu kita samasekali. Sebelum totokannya pulih, mereka tak bisa mendengar apapun yang kita bicarakan. Selain menotok saraf untuk bergerak, totokan itu juga mengenai saraf pendengaran yang menyebabkan mereka tak bisa mendengar sekaligus tak bisa bicara,” ujar si Bungsu seperti menjawab ketakutan Siti, walinagari maupun ayahnya.
Setelah menatap kepada tiga anggota PRRI yang terduduk seperti orang linglung itu, Siti lalu membuatkan kopi panas untuk ayahnya dan walinagari. Kedua orang itu pindah ke meja panjang di depan si Bungsu duduk.
”Lama kita tak bertemu, Pak..” ujar si Bungsu tatkala ketiga orang itu, walinagari, pemilik kedai dan Siti, duduk di depannya. Dia menyalami ketiga orang itu.
”Masih ingat engkau rupanya pada kami, Bungsu…”
”Bukankah ketika akan pergi dulu, saya berjanji jika pulang ke Situjuh saya akan singgah kemari? Sekarang saya tepati janji saya. Saya pulang ingin ziarah ke makam keluarga. Tak ada bendi yang mau mengantar saya ke Ladang Laweh karena ada peperangan, saya terpaksa jalan kaki. Hari sudah larut, ketika lewat tadi saya dengar masih ada suara di kedai ini. Itu sebab saya singgah..” ujar si Bungsu sambil menghirup kopi.
”Hmm..enak kopimu, Siti. Sekarang sudah pakai gula..”
Siti tak tersenyum, kendati ucapan si Bungsu mengingatkan dia tatkala dahulu ketika ada empat tentara Jepang di kedai ini. Saat itu, saking ketakutannya dia memberi si Bungsu kopi tanpa gula. Dia tidak tersenyum karena matanya nanap menatap anak muda itu. Dia serasa bermimpi bisa bertemu lagi.
”Kata orang.., maaf..kata orang Uda sudah meninggal…” ujar Siti lirih.
Si Bungsu menatapnya. 



@



Tikam Samurai - 376