Tikam Samurai - 377

Ucapan yang sama pernah dia dengar dari mulut Reno Bulan, tunangannya di masa yang sangat remaja, yang kini bersuamikan tukang salung di Bukittinggi.
Rupanya kabar yang tersebar itu benar adanya.  Kabar yang disebarkan oleh pedagang yang bolak balik dari Payakumbuh ke Pekanbaru dan ke Tanjungpinang. Dia teringat saat bersama pejuang-pejuang dari Desa Buluhcina menyergap tentara Belanda di pendakian Pasirputih. Sebuah tempat antara Dusun Marpoyan dan Desa Buluhcina.
Saat itu dia memang ditembak oleh dua orang tentara Belanda. Dalam situasi amat kritis dia di bawa pejuang-pejuang Buluhcina ke desa mereka. Di sana dia mereka rawat sampai sembuh, lalu baru melanjutkan perjalanannya ke Jepang melalui Singapura. Kabar dia tertembak itulah yang ditafsirkan dia meninggal, yang ternyata menyebar di Pekanbaru, kemudian didengar dan menyebar dari mulut ke mulut diantara pedagang asal Payakumbuh, Bukittinggi dan sekitarnya. Kabar itu ternyata menyebar pula sampai ke kampungnya.
”Ya, banyak orang mendengar kabar seperti itu, Siti. Dan saya memang tertembak dan menduga akan dijeput maut. Tapi Alhamdulillah Tuhan masih memperpanjang umur saya…” ujarnya perlahan.
Setelah lama sepi, si Bungsu tiba-tiba bertanya.
”Pak Wali, mengapa kampung-kampung yang saya lalui banyak rumah yang lapuk seperti tak berpenghuni..?”
”Bukan seperti tidak berpenghuni, Bungsu. Memang tidak lagi ada penghuninya”
”Kemana penghuninya?”
”Ada yang ikut bergerilya ke hutan. Bagi kaum lelaki yang ikut ke hutan, keluarganya diungsikan ke Jawa atau Tanjungpinang dan Pekanbaru. Pokoknya ke tempat yang tidak dilanda perang. Tapi sebagian besar dari penduduk pergi merantau. Mereka meninggalkan negeri yang diamuk perang ini. Itu terjadi di belasan kampung dalam Luhak Limapuluh ini. Ada yang membawa semua anggota keluarga, ada yang lelaki saja duluan. Kemudian setelah mendapat tompangan di rantau mereka menjemput anak bininya. Soal ada atau tidak ada pekerjaan di rantau itu soal kedua. Yang jelas menghindar dulu dari keadaan yang tak menentu di kampung. Ada yang ke Pekanbaru, ke Tanjungpinang, banyak yang ke Jawa. Tapi ada pula beberapa orang mencoba peruntungan di Negeri Sembilan, Malaya, sebagaimana halnya Sutan Sinaro suami Siti..”
Si Bungsu menatap Siti, yang ternyata sudah bersuami.
”Sudah lama Sutan Sinaro ke Malaya, Siti?”
Gadis itu tak segera menjawab. Sesaat dia menatap si Bungsu, lelaki yang entah mengapa selalu dia tunggu sebelum akhirnya memutuskan menikah, setelah dia mendengar orang yang dia harapkan ini terbunuh di Pekanbaru. Kendati telah menikah, namun dia tak pernah bisa melupakan anak muda itu. Masih dia ingat ketika tangannya digenggam si Bungsu di larut malam ketika akan meninggalkan kedainya ini, setelah membantai empat orang serdadu Jepang.
”Sudah tiga bulan, sudah ada kabar akhir bulan ini dia akan kemari menjemput kami. Uda Sutan mendapat pekerjaan sebagai mandor kecil di perkebunan karet di sana..” ujar Siti perlahan sambil menunduk.
”Syukurlah kalau begitu. Menjadi mandor perkebunan itu suatu pekerjaan terpandang. Di Singapura saya dengar memang sudah mulai banyak orang awak yang mengadu nasib di Malaya. Lagipula, memang sebaiknya merantau dulu selagi kampung kita ini dilanda perang. Di sini nyawa manusia kadangkala tak lebih berhaga dari nyawa seekor ternak…”
Lama mereka sama-sama terdiam. Lalu si Bungsu menoleh kepada tiga anggota PRRI yang masih duduk tak bergerak-gerak itu. Dia berdiri, menghampiri mereka satu persatu, menotok urat di lehernya. Terdengar ada yang batuk, ada yang melenguh. Namun tetap tak bisa bergerak. Mereka hanya sekedar bisa mengerakkan kepala, mendengar dan bicara.
”Nah Sanak bertiga, dengarlah. Sanak pasti sengaja memisahkan diri dari induk pasukan, menyelusup ke kampung-kampung di kaki Gunung Sago ini untuk merampok, bahkan membunuh orang yang melawan kejahatan yang Sanak lakukan. Sanak benar-benar menangguk di air keruh. Dari logat bicara, amat jelas Sanak bukan orang Luhak Limapuluh ini. Saya minta Sanak menyadari bahwa yang kalian lakukan menambah sengsara penduduk yang memang sudah sengsara. Dulu sengsara di bawah penjajahan Belanda, lalu datang Jepang menambah kesengsaran itu. Kini penduduk sengsara oleh perangai yang Sanak lakukan tanpa setahu induk pasukan Sanak. Kalau mau terus berperang melawan tentara pusat, silahkan. Tapi jangan ganggu penduduk yang tidak berdosa. Sanak ingatlah itu baik-baik…”
Sehabis berkata si Bugsu berdiri, mengambil ketiga bedil di meja. Meletakkannya di pangkuan masing-masing anggota PRRI itu. Kemudian menjentik urat di leher mereka, dari totokan, dan mereka sudah memegang bedil masing-masing, ketiga orang itu masih duduk termangu-mangu. Sampai akhirnya si komandan yang di pinggangnya tergantung dua pistol itu bicara perlahan.yang menyebabkan ketiga orang itu terbebas dari totokan. Namun kendati telah bebas



@



Tikam Samurai - 377