Yang pasti adalah, saat samurainya yang masih berada di dalam sarungnya itu jatuh menimpa jalan berkerikil, dadanya terasa amat pedih. Baju gunting cina yang dipakainya, persis tentang jantungnya mulai basah oleh darah.dengan menahan rasa sakit dia menatap Michiko, kemudian perlahan tatapannya beralih kedadanya yang mengalirkan darah, kemudian kembali menatap Michiko.
Michiko sudah akan melancarkan serangan kedua, sejak tadi, namun tangannya terhenti dengan ujung samurai menghadap keatas dan tangan siap menetak kan samurainya keleher si Bungsu. Gerakannya terhenti ketika mendengar suara benda yang jatuh menimpa kerikil jalanan, dan sekilas saat yang kritis, dia melihat ditangan si Bungsu tidak ada senjata apa pun, sedangkan baju tentang dadanya dilumuri darah, yang makin lama makin banyak!.
Dia segera sadar kalau si Bungsu, sama sekali tidak berniat untuk mencabut samurainya, sama sekali tidak berniat melawannya. Dia masih tertegak dalam posisi menahan serangan terakhir, wajahnya pucat.
“Oh, tidak…” ujarnya seperti keluhan.
Di depannya si Bungsu jatuh dengan kedua lututnya. Tangan kananya memegang dadanya yang luka, seperti ingin menahan darahnya keluar yang mengalir deras. Matanya menatap Michiko, di wajah dan tatapannya tak ada rasa marah, tak ada rasa dendam, apalagi rasa benci.
“Terima kasih, Michiko-san. Engkau telah menolong aku..bebas dari rasa berdosa karena menyebabkan kematian ayahmu. Alangkah lamanya aku menanti saat pembebasan dari rasa berdosa ini, alangkah jauhnya jalan yang akan kau tempuh untuk pulang. Maafkan aku…Michiko-san….”
Si Bungsu tidak sadar sepenuhnya, bahwa sebagian dari kata-kata yang diucapkan terucap setelah dirinya berada dalam pelukan Michiko. Gadis itu memekik, memeluk tubuh si Bungsu erat-erat. Memekik dengan meneriakan kata-kata “Tidak” berkali-kali, memekikkan kata ”Tolong” berkali-kali!
“TIdaaaak, jangan tinggalkan aku Bungsu-san. Jangan tinggalkan aku. Oh budha, tolong hambamu ini, jangan biarkan dia meninggalkan aku..” Ratap Gadis itu.
Dalam gerimis yang semakin rapat, dalam deram gemuruh yang sahut bersahut si Bungsu membuka mata, menatap kepada Michiko. Gadis itu terdiam, dia menggigit bibirnya di antara tubuhnya yang terguncang-guncang menahan tangis. Perlahan tangan si Bungsu yang tadi menahan darah mengucur dari dadanya terangkat. Dengan tangan berlumur darah dipegangnya pipi Michiko. Di antara senyum Ikhlasnya dia berbisik.
“Michiko-san…jaga..dirimu baik-baik….”
“Maafkan aku, Bungsu-san. Maafkan aku…”ratapnya antara terdengar dan tidak.
Sama sekali tak ada niatnya untuk melukai apalagi membunuh si Bungsu, lelaki yang siang malam memenuhi relung hatinya. Satu-satunya lelaki yang pernah merebut hatinya, yang siang malam dia rindukan. Lelaki yang dia cari sampai ke ujung dunia, tanpa mempedulikan apapun rintangannya. Kalau tadi dia menghunus samurai, itu dengan keyakinan yang amat sangat bahwa serangannya dengan amat mudah dapat dielakkan atau ditangkis oleh si Bungsu. Dia sebenarnya sangat berharap dialah yang dilukai dan dilumpuhkan.
Kalau si Bungsu tidak mencintainya, dia rela mati di tangan lelaki yang dia cari ke segenap penjuru ini. Dia memang mencari lelaki itu dengan dendam di hati. Tapi jika ditimbang mana yang berat antara dendam dengan rasa cintanya kepada lelaki itu, perbandingannya bisa satu untuk dendam, sepuluh untuk cinta. Dia benar-benar tidak menduga sedikitpun, bahwa gerakan si Bungsu di awal tadi adalah gerakan untuk membuang samurai nya. Dalam pikiran nya, serangannya yang tak berbahaya dalam bentuk memancung dari atas kiri ke dada lelaki itu akan mudah digagalkan. Dia tahu, serangannya itu dapat di tangkis siapapun dengan gerakan sederhana sekali, apalagi oleh si Bungsu.
Tapi si Bungsu ternyata samasekali tidak mencabut samurai nya. Dia merasa hiba melihat gadis itu memburunya ke mana-mana untuk membalas dendam. Dia amat menyesal telah menyebabkan Michiko sebagai anak tunggal kehilangan ayah. Kini tak ada lagi tempat gadis itu menggantungkan hidup. Ibunya sudah lama meninggal. Dia dapat merasakan betapa sepi dan terguncang nya jiwa Michiko setelah kematian ayahnya, dia dapat merasakan karena hal yang sama juga menimpa dirinya.
Itulah sebab dia ingin segera mengakhiri dendam turunan itu. Itulah pula sebabnya kenapa dia samasekali tidak mencabut samurai untuk melawan Michiko. Yang dia lakukan justru melemparkan samurai nya ke tanah. Dan saat itu serangan ke dadanya tak lagi sempat ditarik Michiko. Lalu…terjadilah tragedi dan malapetaka itu!
Dalam ketakutan ditinggalkan lelaki yang amat dicintainya itu, Michiko teringat ucapan pendeta Kuil Shimogamo yang menjadi senseinya berlatih samurai, sepeninggal ayahnya. Saat sensei itu tahu Michiko berlatih untuk mencari dan membalas dendam kepada si Bungsu, pendeta itu mengingatkannya dengan lembut:
”Saya tahu anak muda bagaimana musuhmu itu Michiko-san. Dia akan membunuh lawan-lawannya. Tapi percayalah, jika engkau bertemu kelak dengannya, dia takkan melawanmu. Dia adalah anak muda yang berbudi. Dia tak akan melawanmu, dia akan merelakan nyawanya di tanganmu. Percayalah, Nak . .”
@
Tikam Samurai - IV