Tikam Samurai - 380

Ada beberapa saat dia berlutut di samping ketiga makam itu. Menunduk dengan mata basah, pipi basah dan diri yang amat sepi karena hidup sebatang kara. Masa kecilnya seperti datang berlarian, saat ayah, ibu dan kakaknya masih hidup. Meski bersikap keras, namun ayahnya selalu membawa dia bepergian, naik bendi ke Payakumbuh, atau naik kereta api ke Bukittinggi. Ayahnya ingin dia bersekolah agar dia nanti menjadi ”orang”. Tidak seperti dia yang hanya petani. Ibunya adalah wanita berhati lembut yang selalu melindungi dia dari amarah ayahnya. Kakaknya adalah yang membela dia di segala situasi. Kini semua tidak akan dia perdapat lagi, tak ada lagi ayah, ibu dan kakak tempat dia mengadu.
“Tinggala ayah, ibu, uni.. aku pergi menjalani nasibku…” ujarnya perlahan sambil berdiri dan melangkah meninggalkan pemakaman itu.
Guruh terdengar menderam resah tatkala dia keluar dari areal pendam kuburan kaum itu. Dia melangkah penurunan di areal pemakaman. Hanya beberapa selang menurun, dia menempuh jalan mendaki. Diatas pendakian dia melihat seseorang melangkah kearahnya. Nampaknya orang itu akan ke kuburan. Karena jalan yang dia tempuh ini hanya menuju pekuburan tersebut.
Tapi ternyata orang itu tidak melangkah kearahnya, orang itu hanya tegak disana, di puncak pendakian yang akan dia lewati.
Dia terus melangkah dengan pikiran ke masa kecilnya. Selintas dia lihat orang tadi masih tegak disana. Lalu entah kenapa debar aneh itu menyerangnya lagi. Langkah nya pun sampai kedekat orang yang masih tegak di pendakian. Tegak persis di jalan yang akan dia lalui, karena orang itu tidak menggeser tegak, lima langkah dari orang itu dia mengalihkan langkahnya agak kekanan.
Orang itu masih tegak disana, tak bergerak sejengkal pun. Tegak dengan kaki terpentang dan rasanya seperti menatap terus kepadanya! hatinya menjadi tak sedap. Kenangan masa kecilnya seperti kembali berlarian di kepalanya. Saat itu dia disentakan oleh sebuah suara.
“Bungsu…!”
Dia benar-benar seperti disambar petir mendengar suara itu. Bukan terkejut karena mengenal atau tau namanya tapi tersentak karena suara orang itu. Suara yang amat dia kenal. Yang tak pernah di mimpikan akan mendengar suaranya disini, di kampung halamannya Situjuh Ladang Laweh!
Suara itu seperti orang yang mengucapkan nya, datang dari tempat jauh. Puluhan ribu kilometer dari sini. Dia sampai kemari setelah melintasi samudra, lembah dan gunung. Suatu hal yang sangat mustahil, tapi kembali dia dikejutkan oleh suara orang itu.
“Bungsu-san…”
“Ya Allah, M..michiko…??”
“Ya, akulah ini. Michiko anak saburo Matsuyama…!”
Mereka hanya terpisah dalam jarak tiga depa. Guruh mengeram beberapa kali di sertai angin kencang. Dia ingin mengucapkan selamat datang di kampung ini dan menanyakan apa kabar, namun sebelum dia sempat bicara suara gadis terdengar lagi.
“Sejak tadi aku tunggu engkau disini Bungsu, aku tak inginmengganggu suasana ziarahmu ke makam Ayah, ibu, dan kakakmu…”
Gerimis tiba-tiba turun menyiram bumi, makin lama makin rapat. Guruh kembali mengeram di langit yang berubah menjadi kelam. Dia kembali ingin mengucap kan selamat datang, kendati dia tak keberatan sama sekali kalau gadis itu datang menemuinya di areal pemakaman. Namun sebelum dia bicara suara gadis itu kembali memintas mendahului.
“Seperti saat engkau datang mencari ayahku, tujuh samudra dan berpuluh gunung serta lembah kutempuh untuk bisa bertemu dengan mu disini Bungsu. Kau cari ayahku ke Jepang sana dan kau temui dia di kampungku. Di kuil Simogamo, dimana dia mengabdikan diri disisa usianya. Disana kau bunuh dia. Apapun alasanmu, kendati dia melakukan sepupuku, harakiri, namun kematiannya tak lain tak bukan karena engkaulah penyebabnya!Engkau datang ke Jepang untuk membalas kematian keluargamu di tangan ayahku. Kini aku datang kemari menuntut kematian ayahku ditangan mu, adil bukan…?”
Dia ingin bicara,tapi…
“Cabut samuraimu,Bungsu….!”
Si Bungsu merasa samurai di tangan kirinya seolah-olah menjadi panas. Dia menyesal kenapa membawa samurai itu. Kendati kemana pun dia pergi samurai ini tak pernah berpisah dengannya, namun kali benar-benar menyesal telah membawanya. Dia mengangkat tangan kirinya itu jauh-jauh, sambil mengatakan bahwa dia takkan menumpahkan darah lagi. Bukan karena dia dekat makam keluarganya. Namun gerakan tangan kirinya yang ingin membuang samurai itu salah ditafsirkan oleh Michiko.
Setiap orang yang memegang samurai apakah ditangan kiri maupun ditangan kanan, bila akan mencabut samurainya harus mendekatkan hulu samurai ke tangan yang satunya lagi. Gerakan itu, mendekatkan hulu samurai dengan tangan yang akan mencabut samurai, di lakukan saat bersamaan. Hanya dalam hitungan detik, entah mana yang duluan, entah samurai yang akan di lemparkan si Bungsu lebih dahulu lepas dari tangan nya, atau mata samurai Michiko yang lebih dahulu memakan dirinya, atau samurainya lepas bersamaan dengan tiba nya sabetan samurai Michiko!



@



Tikam Samurai - 380