Tikam Samurai - 383

”Ini Rumah Sakit Tentara, di Padang…” jawab seorang dokter yang juga tentara.
”Di Padang..?”
”Ya, di Padang..”
”Kapan saya dibawa kemari?”
”Sepuluh hari yang lalu..”
”Sepuluh hari..?”
”Ya..”
”Selama itu saya tidak pernah sadar?”
”Tapi sekarang sudah. Keadan Anda semakin amat membaik..” ujar dokter itu sambil memeriksa mata dan denyut nadi si Bungsu.
Para dokter dan para perawat akhirnya meninggalkan ruang itu. Kini hanya tinggal dia dan Michiko. Ditatapnya gadis itu sambil mencoba mengingat kejadian terakhir. Sat itu dia baru keluar dari pemakaman kaum, setelah membersihkan kuburan ayah, ibu dan kakaknya. Di jalan menanjak dia melihat seseorang berjalan menuju ke pemakaman. Tapi saat hampir sampai di puncak tanjakan dia baru tahu, orang itu tetap tegak menunggunya di puncak tanjakan tersebut.
Setelah jarak mereka hanya sekitar tiga depa, dia baru menyadari bahwa orang yang tegak dipuncak tanjakan itu, yang namapknya sengaja menunggu dia tiba, tak lain dari Michiko. Dan…dia ditantang untuk bertarung. Dia melemparkan samurainya ke jalan, tapi sat itu dadanya terasa amat pedih. Kemudian dia jatuh dia atas kedua lututnya. Tangannya menekan dadanya yang pedih, tapi darah mengalir keluar. Makin lama makin banyak. Teringat hal itu si Bungsu meraba dadanya. Michiko memahami apa yang ada dalam fikiran si Bungsu.
”Maafkan aku, Bungsu-san. Maafkan aku…” ujarnya terisak sambil meraih tangan si Bungsu dan kembali menciumnya.
”Jangan menangis, Michiko san…jangan menangis… Kemarilah, peluk aku..” ujar si Bungsu sambil menarik tangan Michiko dengan lembut. Michiko merebahkan kepalanya ke dada si Bungsu. Si Bungsu membelai rambut gadis itu dengan lembut.
”Ingat malam itu di kereta api dari Gamagori menuju Nagoya?..?” ujar si Bungsu perlahan.
Michiko mengangkat kepalanya, menatap si Bungsu, kemudian berbisik.
”Takkan pernah kulupakan saat itu, Bungsu-san. Itulah sat paling bahagia dalam hidupku.
Kau peluk bahuku, dan aku tertdiur di bahumu dari senja hingga tengah malam,” ujar Michiko sambil kembali merebahkan kepalanya di dada si Bungsu.
”Engkau mau mendengarkan nyanyianku…?”
Michiko mengangguk di dada si Bungsu, pertanyan itu sama persis dengan pertanyan yang diucapkan anak muda itu di kereta api bertahun yang lalu.
“Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san…”
Bisiknya, menirukan kata-kata yang juga persis sama dengan yang dia ucapkan saat menjawab pertanyan anak muda itu, berbilang tahun yang lalu, dalam kereta api yang meluncur dari Gamagori menuju Nagoya. Dengan masih memeluk bahu gadis itu Si Bungsu mulai batuk-batuk kecil mengatur suara, lalu dengan suara yang berat dan lembut terdengar nyanyiannya:
“Ame ga fuuttemo
watashi wa ikimasu
nakanaide kudasai
watashi o
wasurenaide kudasai
sayonara….”
(Meskipun turun hujan,
saya akan pergi
jangan menangis
jangan lupakan saya
selamat tinggal…)
Di kereta dahulu, Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap mata anak muda itu tepat-tepat. Tapi kini, dia tidak mengangkat kepalanya, dia mengulangi lagi kata-katanya kala itu:
“Anata wa Nippon no uta o shitte imasu…Anda mengetahui lagu Jepang”
“Hai, sukoshi dekimasu…Ya, saya mengetahui sedikit..” jawab si Bungsu, juga mengulang secara amat persis ucapannya di kereta menuju Nagoya dahulu.
Michiko mengangkat wajahnya begitu ucapan si Bungsu selesai. Dia menatap anak muda itu tepat-tepat. Si Bungsu melihat air mata mengalir perlahan di pipi gadis itu.
”Nakanaide kudasi, Michiko-san. Jangan menangis, Michiko..” ujar si Bungsu sambil menghapus air mata di pipi Michiko dengan jemarinya dengan lembut.
Michiko meraih tangan si Bungsu menciumnya, lalu berkata di antara isaknya yang tertahan.
”Berjanjilah tidak lagi meninggalkan aku, Bungsu san. Berjanjilah..”



@



Tikam Samurai - 383