Si Bungsu meraih wajah Michiko, menariknya mendekati wajahnya. Kemudian dengan lembut dia cium keningnya, matanya dan..bibirnya. Michiko menggigil dalam pelukan anak muda itu. Menggigil karena haru dan bahagia.
”Itu janjiku, Michiko-san…Itu janjiku..” bisik si Bungsu sambil memeluk gadis itu dengan lembut. Dalam posisi seperti itu kedua anak manusia yang berasal dari negeri yang amat berjauhan itu tertidur.
Besoknya si Bungsu kedatangan dua orang tamu. Keduanya berbaret merah. Si Bungsu sudah bisa duduk, namun belum dibolehkan berjalan. Tunggu sehari dua lagi, sampai luka di dada benar-benar pulih, begitu kata dokter. Dia merasa surprise saat mengetahui tamu yang datang adalah Letnan Fauzi dan Letnan Azhar dari RPKAD. Mereka bersalaman dan berpelukan dengan akrab. Si Bungsu mengenalkan kedua perwira itu dengan Michiko. Keduanya membungkuk dengan hormat sebelum menyalami gadis cantik itu. Si Bungsu mencegah Michiko yang akan keluar, maksud gadis itu agar dia bisa berbicara bebas dengan kedua temannya itu.
“Tak ada rahasia antara kami, kedua beliau sahabat saya. Karena itu juga sahabatmu Michiko-san..” ujar si Bungsu.
Dan merekapun ngobrol berempat. Dari obrolan itu menjadi jelas bagi si Bungsu maupun Michiko, apa sebab mereka sampai ke Rumah Sakit Tentara di Padang ini. Padahal sebelumnya mereka berada di Situjuh Ladang Laweh. Ternyata saat mereka berhadap-hadapan di puncak pendakian dekat makam kaum di Situjuh Ladang Laweh itu dua minggu yang lalu, APRI sedang melakukan operasi pembersihan ke beberapa kantong PRRI di pinggang Gunung Sago itu. Yang memimpin operasi itu adalah peleton yang dipimpin Letnan Fauzi dan peleton Letnan Azhar.
Pasukan mereka sampai ke pemakaman itu karena akan mengambil jalan pintas memotong jalur pelarian empat orang anggota PRRI yang melarikan diri dari penyergapan di salah satu rumah di Situjuh Ladang Laweh. Semula dua anggota pasukannya menyangka lelaki dan perempuan yang mereka temukan di puncak pendakian itu sudah tewas terkena peluru nyasar.
Soalnya keduanya berlumur darah. Tapi begitu didekati, saat kedua tubuh itu disorot lampu senter, dua orang anak buahnya terkejut.
Dia sangat mengenal wajah orang yang terluka dalam pelukan perempuan Jepang yang juga pingsan itu. Dia mengenalnya karena dia adalah salah seorang anggota RPKAD yang melihat orang itu bertarung dengan komandannya.
“Bungsu, ini si Bungsu..!” serunya sambil berseru dan beberapa kali memberi isyarat kepada Letnan Fauzi lewat cahaya lampu senter.
Saat Letnan Fauzi sampai di sana, dengan terkejut dikenalinya orang yang pernah bertarung dengannya itu.
“Berikan bantuan darurat, periksa wanita ini. Panggil tandu …” perintah Letnan Fauzi.
Tak lama kemudian Letnan Azhar sampai di sana. Mereka tak heran kenapa si Bungsu dan gadis Jepang itu ada di sana. Mereka telah membaca laporan intelijen tentang kedua orang ini. Riwayat si Bungsu hampir lengkap dimuat di laporan intelijen itu. Mulai saat pembantaian keluarganya sebelum kemerdekaan, sampai saat dia “gentanyangan” membunuhi Jepang dan Belanda di Payakumbuh, Bukittinggi dan Pekanbaru.
Termasuk di dalam laporan itu bahan yang dikirimkan oleh Overste Nurdin, Atase Militer Indonesia di Malaya yang berkedudukan di Singapura. Mereka juga mendapat data intelijen dari Konsul RI di Australia. Tentang Michiko, selain informasi dari Overste Nurdin, juga didapat informasi dari Jakarta. Dalam pergolakan ini dia dinilai militer sebagai orang yang sangat netral.
Dalam kasus tertentu dia melabrak anggota APRI yang tidak benar. Dalam kasus lain dia menghantam orang PRRI yang berbuat aniaya kepada rakyat. Kenetralan yang sangat terjaga dan karenanya sangat dihormati. Tentang apa sebab dan apa tujuan Michiko mencari si Bungsu, informasinya mereka peroleh juga dari laporan Overste Nurdin. Laporan itu tidak begitu lengkap, hanya dituliskan bahwa selain membawa-bawa dendam, Michiko sebenarnya mencintai si Bungsu. Laporan dari Overste Nurdin dikirim ke Jakarta via telegram. Diteruskan ke perwira tertentu yang berada di Sumatera Barat.
“Kau boleh tangguh dan menang bertarung dengan selusin lelaki, Bungsu. Termasuk dengan aku. Tapi kami sudah menduga, kau takkan berdaya menghadapi Michiko…” ujar Letnan Fauzi bergurau.
“Dan itu sudah kami buktikan ketika menemukan engkau sekarat di Situjuh..” sambung Letnan Azhar.
Si Bungsu tersenyum dan memandang pada Michiko. Gadis itu, yang sudah amat fasih berbahasa Indonesia, karena belajar dari Salma dan Nurdin saat di Singapura, tunduk tersipu-sipu.
“Lain kali, kalau kita harus melawan Bungsu lagi, kita minta tolong saja pada Michiko..” ujar Letnan Azhar, disambut tawa berderai Letnan Fauzi.
Si Bungsu yang ikut tertawa tiba-tiba terpekik, karena lengannya dicubit Michiko. Cubit dan pekik itu menyebabkan tawa mereka makin berderai di dalam kamar rawat inap itu. Lepas dari pertemuan dan senda gurau yang membahagiakan itu, menjadi jelas pula bagi Bungsu dan Michiko, pada malam terjadinya peristiwa terlukanya si Bungsu itu mereka berdua dilarikan dengan memakai truk pengangkut tentara ke Payakumbuh. Kemudian atas perintah kedua letnan RPKAD itu dia dilarikan ke Rumah Sakit Tentara di Padang.
@
Tikam Samurai - IV