Tikam Samurai - 385

Dengan truk yang dilengkapi kasur malam itu juga melarikan mereka ke Padang, dikawal oleh selusin anggota RPKAD. Hal itu dilakukan kedua perwira RPKAD itu setelah terjadi “uji tanding” antara si Bungsu dengan Letnan Fauzi. Jika sebelumnya mereka hanya menerima laporan intelijen tentang apa dan mengapa si Bungsu dan Michiko, tiga hari setelah uji tanding itu datang sebuah daftar dari Markas APRI berisi nama dua tiga orang di Sumatera Barat yang diberi kode HD, “Harus Dilindungi”.
Di antara sedikit nama yang diberi kode HD itu terdapat nama Kari Basa dan Bungsu! Untuk melaksanakan perintah berlabel HD itu tentu saja mereka tak boleh kehilangan jejak orang-orang tersebut. Namun letnan itu kelabakan mencari dimana keberadan si Bungsu. Ketika Michiko muncul di Bukittinggi, akhirnya diputuskan untuk mengawasi gadis itu dari jauh. Mereka yakin, kedua orang itu pasti akan bertemu. Karenanya diam-diam Michiko dijadikan sebagai “penunjuk jalan” dalam mencari si Bungsu.
Namun adanya perintah berkode HD itu, berikut menjadikan Michiko sebagai penunjuk jalan, tak pernah diungkapkan kedua letnan itu kepada siapapun, tentu saja termasuk kepada si Bungsu dan Michiko. Dari pertemuan hari itu pula si Bungsu mengetahui, bahwa ke Sumatera Barat ini RPKAD yang dikirim hanya dua peleton yang dipimpin Fauzi dan Azhar. Sementara ke Riau dikirim satu batalyon, berkekuatan lebih kurang seribu orang.
Hal itu disebabkan pemerintah Pusat mengamankan PT Caltex yang berkantor di pinggiran kota Pekanbaru, serta ladang-ladang minyaknya yang bertebaran di dalam belantara Riau tersebut. Letnan Fauzi dan Letnan Azhar memerlukan datang menemui si Bungsu, karena dua peleton RPKAD yang mereka pimpin akan kembali ke Jakarta. Masa tugas mereka selama tiga bulan di daerah ini sudah berakhir.
“Terimakasih, Letnan. Aku berhutang nyawa pada kalian…” ujar si Bungsu dengan nada bergetar.
“Kalau kalian nikah nanti jangan lupa mengundang kami, awas kalau lupa..” ujar Fauzi saat akan meninggalkan ruangan itu. Dan para sahabat itupun berpisah dalam suasana penuh haru.
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit si Bungsu sangat terkejut ketika mendengar kabar bahwa ayah Salma yang bernama Kari Basa mati tertembak di Bukttinggi. Dia ditembak malam hari, saat akan masuk ke rumahnya. Sampai sekarang tidak diketahui pihak mana yang menembaknya. Overste Nurdin dan Salma isterinya telah sampai di Bukittinggi dua hari yang lalu. Mereka terbang langsung dari New Delhi dimana Nurdin bertugas ke Jakarta, kemudian ke Padang dan diantar pakai jip yang dikawal dua truk tentara ke Bukittinggi. Si Bungsu, termasuk Michiko, memutuskan untuk datang ke Bukittinggi menemui kedua sahabatnya itu.
Sementara Michiko kembali teringat ucapan Salma di Airport Changi, saat akan berangkat ke Jakarta, untuk seterusnya mencari si Bungsu ke kampungnya. Saat itu Salma berkata: “Sebagai sesama perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan untuk bertemu dengan lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau yang memiliki kesempatan paling besar untuk mendapatkan dirinya. Jangan engkau sampai dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat.
Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia engkau bunuh Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu. Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin si Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini. Datanglah sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, Adikku!”
Michiko termenung mengingat kata-kata: “Datanglah sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, Adikku!” Oo, alangkah inginnya dia hal itu terwujud. Alangkah inginnya. Tengah dia menghayalkan hal tersebut tiba-tiba dia dikejutkan suara si Bungsu:
“Michiko-san…”
“Ya…?”
“Kita akan ke Bukittinggi, kan?
“Ya..”
“Secepatnya, kan?”
“Ya..”
“Michiko-san..”
“Ya..?”
Si Bungsu menatapnya. Sepi, Michiko menunggu apa yang akan disampaikan si Bungsu lebih lanjut.
“Di negeri kami ini, yang melamar seorang gadis adalah pihak ibu dan keluarga perempuan pihak lelaki. Tapi saya tidak lagi punya keluarga. Kita sama-sama sebatang kara. Kalau nanti kita sudah di Bukittinggi, saya akan meminta Salma dan Nurdin melamarmu.



@



Tikam Samurai - 385